mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt Laporan Hasil Penelitian CANDI JAGO DAN CERITA KUNJARAKARNA DALAM KONTEKS MASA KINI Oleh Katherine Purwanto Universitas Muhammadiyah Malang Kerjasama dengan Australian Consortium for In-country Indonesian Studies Mei 2005, MALANG 1 KATA PENGANTAR Laporan ini adalah suatu studi tentang Candi Jago dan relief-relief Kunjarakarna. Penulisan laporan ini sebagai tugas terakhir program studi di Indonesia. Program studi itu diselenggarakan oleh ACICIS (Australian Consortium for In Country Indonesian Study) bekerjasama dengan UMM (Universitas Muhammadiyah Malang). Studi lapangan ini bisa diselesaikan dengan pertolongan banyak orang. Yang terpenting adalah program ACICIS karena mereka memberi kesempatan ini kepada saya dan menolong selama proses penelitian. Terutama Pak Tom Hunter, Pak David Armstrong dan Ibu Lestari Widyastuti. Dari UMM adalah Pak Habib, pembimbing saya, yang selalu menolong kalau saya ada masalah dan dia juga membantu untuk menyesuaikan kehidupan saya sehari-hari di Indonesia. Juga terima kasih banyak kepada Pak Wahid yang mengurusi administrasi dan yang mencarikan informasi tentang aktivitas ekstrakurikuler. Mereka yang juga banyak membantu saya adalah Ibu Tri, Ibu Vina, Pak Sulismadi, Ibu Yuli dan berberapa dosen FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) yang lain. Selain itu saya juga berterima kasih kepada Drs Blasius Suprapto M.Hum, Pak Suhadi dan Rini Purwanti dari UNM (Universitas Negeri Malang), Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak dosen dari UNSW (University of New South Wales) yang paling penting adalah Pak David Reeves, PSMD (Padepokan Seni Mangun Dharmma) khususnya Ibu Karen, Pak Soleh dan mas Sohel atas bantuannya. Yang tidak bisa dilupakan adalah keluarga saya di Indonesia, dan di Australia, dan teman-teman (terutama anak-anak Crew 13) yang selalu mendukung dan membetulkan bahasa Indonesia saya. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih atas pertolongan mereka. KATHERINE PURWANTO (Mei 2005, Malang) 2 LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian: Candi Jago dan Cerita Kunjarakarna Dalam Konteks Masa Kini. Nama Peneliti: Katherine Purwanto (05210541) Nama Pembimbing: Dr. H. Achmad Habib, MA. Ketua Program ACICIS Dosen Pembimbing ________________________ ______________________ Dra. Tri Sulistyaningsih, M.Si Dr. H. Achmad Habib, MA Mengetahui: Dekan FISIP UMM ________________________ Dra. Vina Salviana, DS., M.Si Mei 2005, Malang 3 ABSTRAKSI Indonesia adalah negara yang terkenal akan kekayaan sejarah budayanya, termasuk kesenian, kesusastraan dan kepercayaan agama. Selama perkembangan Indonesia dalam masa perbakala banyak bangunan yang berupa Candi bermunculan. Candi-candi itu adalah satu contoh bangunan yang menyatukan antara kesenian, kesusastraan dan kepercayaan agama. Selama penelitian ini, saya coba menyelidiki tiga aspek budaya itu dan kaitannya dengan Candi Jago di desa Tumpang, terutama tentang cerita Kunjarakarnanya. Ada banyak aspek yang membuat penelitian tentang Candi Jago menarik. Dalam konteks kesenian yang berupa relief, seperti Kunjarakarna, yang menghiasi candi dan patung-patung untuk menghormati dewa adalah salah satu contoh kesenian dari zaman lalu. Lagi pula relief-relief pada masa itu menggambarkan cerita kesusastraan yang penting untuk masyarakat Majapahit. Dari peninggalan tersebut ahli sejarah bisa mempelajari aspek budaya dan kepercayaan agama yang mungkin akan hilang kalau tidak ada dalam relief-relief di candi. Dari perspektif sejarah sekarang, tidak ada banyak tulisan-tulisan tentang Candi Jago. Jadi kalau tidak ada orang yang meneliti Candi Jago ada kemungkinan informasi yang penting untuk mempelajari zaman Majapahit hilang, karena candi itu diterlantarkan dan dirusak. Sekarang sudah ada banyak candi yang dilupakan dan informasinya hilang selama-lamanya. Maka penelitian tentang Candi Jago atau peninggalan lain dari zaman lalu penting sekali untuk mengerti sejarah perkembangan Indonesia dan pengaruhnya terhadap masyarakat masa kini. Untuk memulai penulisan laporan studi ini saya harus memahami sejarah Candi Jago dalam konteks Majapahit. Informasi ini didapat dari buku di banyak perpustakaan di Malang, tetapi seperti telah dijelaskan bahwa buku-buku tersebut tidak banyak. Kebanyakan sumber-sumber yang saya gunakan diketemukan dari koleksi pribadi Pak Blasius Suprapto dari Universitas Negeri Malang. Seperti biasa sumber-sumber tentang sejarah sering terdapat pandangan yang berbeda, jadi informasi itu harus dianalisa untuk mengerti fakta yang mana mungkin lebih benar. Sejarah ini termasuk fungsi candi-candi dalam zaman dulu. Misalnya apakah itu tempat pemujaan atau tempat pendharmaan, sebagai penghormatan kepada Raja Wisnuwardhana seperti di Candi Jago. Kemudian fungsi-fungsi itu dibandingkan dengan fungsi bagi masyarakat sekarang untuk mengerti perubahan makna, karena perubahan sosial dan budaya dengan masyarakat yang telah maju. Sejarah itu harus diteliti untuk memahami dasar-dasar kesenian yang digunakan untuk menghiasi Candi Jago. Lewat hasil-hasil penelitian itu, alasan pemilihan bentuknya, cerita-ceritanya, patung-patungnya dan lainnya akan muncul. Misalnya Raja Wisnuwardhana didharmakan sebagai Bodhisatwa Amoghapasha dan karena itu kebanyakan aspek-aspek Candi Jago ada pengaruh Buddha. Kemudian saya observasi Candi Jago dari perspektif kesenian yang berpengaruh pada sejarah tersebut. 4 Mungkin keistemewaan kesenian yang paling menarik adalah relief-relief yang menghiasi Candi Jago. Untuk laporan ini saya menyoroti tentang relief Kunjarakarna. Yaitu cerita tentang seorang raksasa yang disuruh oleh Wairocara, dewa Buddha, masuk neraka untuk mengerti hukuman kalau dia tidak mengikuti ajaran Buddha. Saya menyelidiki salah satu versi cerita itu yaitu syair oleh Mpu Dusun berkaitan dengan relief di Candi Jago. Aspek yang paling penting selama penelitian ini adalah pandangan masyarakat sekarang tentang Candi Jago dan cerita Kunjarakarna dalam konteks masa kini. Ada tiga tema yang diutamakan. Yang pertama bagaimana pengetahuan masyarakat sekarang tentang sejarah Candi Jago dan cerita Kunjarakarna. Kedua apakah Candi Jago dianggap sebagai tempat suci dari orang Buddha, Hindu dan Islam dan ketiga apa fungsi Candi Jago dan cerita Kunjarakarna dalam konteks zaman sekarang. Informasi ini diketemukan lewat angket-angket orang biasa di kota Malang dan di desa Tumpang dan selain itu wawancara dengan ahli sejarah. Temuan penelitian menarik sekali. Dari angket-angket saya mengetahui masyarakat di Malang dan di Tumpang tidak mengerti sejarah Candi Jago dan menurut mereka fungsi Candi Jago sudah berubah. Sekarang itu hanya dianggap tempat suci oleh orang Buddha atau Hindu. Hanya sedikit orang Islam mengatakan itu tempat suci dan mereka berpendapat itu hanya untuk menghormati orang yang beragama lain. Sekarang Candi Jago berfungsi sebagai tempat pariwisata atau penelitian sejarah. Bagi masyarakat Tumpang itu hanya tempat pacaran atau untuk anak kecil yang mau main-main. Yang menyedihkan adalah tempat kuburan seorang Raja sekarang sudah hilang kesuciannya dan tidak dipakai untuk upacara atau bersembayang. 5 ABSTRACT Indonesia is a country which is famous for its rich cultural history, including art, literature and religious practices. Throughout the development of Indonesia in ancient times buildings called Chandis began to appear. These Chandis are one example of buildings which combine these aspects of art, literature and religious beliefs. During this research, I tried to investigate these three aspects of culture and their relationship with Chandi Jago in the village of Tumpang, especially in regards to its Kunjarakarna story. There are many aspects which made researching Chandi Jago interesting. In an art context such as the reliefs, like Kunjarakarna, which adorn the Chandi and the statues that honour the gods are one example of art from the past. Also these reliefs retell literature stories that were important to the Majapahit society. From these artifacts historical experts are able to study aspects of culture and religious practices which may have been lost had they not been in the reliefs of Chandis. From a historical perspective today, there are few writings about Chandi Jago. So if there is no-one researching Chandi Jago there is the possibility that important information to the study of the Majapahit era will be lost because the Chandis are abandoned and therefore destroyed. Already there are many Chandis which have been forgotten and information lost forever. Thus research about Chandi Jago or other ancient artifacts from the past is very important to the understanding of Indonesia’s historical development and its influence on today’s society. In starting this research paper I first had to understand Chandi Jagos history in relationship to the Majapahit era. This information came from books from many libraries around Malang but as previously mentioned there were few books on the subject. Most of the sources I used were found in the private collection of Mr. Blasius Suprapto from the Univeristas Negeri Malang. As usual these sources about history often had different views and so the information had to be analyzed to work out which facts were more correct. This history included the function of Chandis in the past. For example were they used as a place for prayers or as a final resting ground for someone important, as was the case at Chandi Jago which honors King Wisnuwardhana. Then these functions were compared to the functions of Chandis in today’s society to understand the way their meaning has changed with the social and cultural changes of an advancing society. This history has to be investigated in order to understand the foundation of the art used to decorate Chandi Jago. Through the results of this research, possible reasons for the choice of its shape, stories, statues ect appeared. For example King Wisnuwardhana was deified as the Buddhist Amoghapasha and because of this many aspects of Chandi Jago have a Buddhist influence. I also carried out observation of Chandi Jago from an art perspective in relation to the aforementioned historical influence. 6 Probably the most interesting art feature is the reliefs which adorn Chandi Jago. For this report I focused on the Kunjarakarna relief which is a story about a demon who is ordered by Wairocana, a form of the God Buddha, to enter hell to understand the punishments for not following the Buddhist law. I investigated one version of the story, that is a poem by Mpu Dusun, and its relationship to Chandi Jago. The aspect which was most important throughout my research was how society now views Chandi Jago and the Kunjarakarna story in today’s context. There were three main themes. Firstly how much society today understands Chandi Jago history. Secondly is Chandi Jago still considered a sacred place by Buddhist, Hindu and Islamic people and lastly what is the function of Chandi Jago and the Kunjarakarna story in today’s context. This information was found through surveys of everyday people in Malang and in Tumpang and also through interviews with historical experts. The results of this research were very interesting. From the surveys I found out that neither the people of Malang or Tumpang understand Chandi Jagos history and they believe that the function of Chandi Jago has changed. Nowadays only Buddhist and Hindu people regard Chandi Jago as sacred. Only a few Muslims say its sacred ground and they are only of that opinion to respect people of another religions beliefs. Today Chandi Jago’s function is as a place for tourists or historical researchers. For Tumpang society it is just a place for dating or for small children who want to play. Its saddening that the burial ground of a king has lost its sacredness and is no longer used for celebration or prayers in his honor. 7 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.....................................................................................................................1 LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................................2 ABSTRAKSI...................................................................................................................................3 ABSTRACT....................................................................................................................................5 DAFTAR ISI...................................................................................................................................7 BAB 1: .............................................................................................................................................9 PENDAHULUAN .....................................................................................................................9 1.1 LATAR BELAKANG ..................................................................................................9 1.2 RUMUSAN MASALAH............................................................................................ 11 1.3 TUJUAN PENELITIAN........................................................................................... 12 1.4 METODOLOGI.......................................................................................................13 BAB 2: ...........................................................................................................................................14 SEJARAH CANDIJAGO........................................................................................................14 2.1 SEJARAH MAJAPAHIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN BERDIRINYA CANDI JAGO.......................................................................................................................14 2.2 FUNGSI CANDI......................................................................................................17 2.3 KEUNIKAN CANDI JAGO DARI SISI KESENIAN ................................................19 BAB 3: ...........................................................................................................................................23 CERITA KUNJARAKARNA DHARMAKATHANA............................................................ 23 3.1 SINOPSIS CERITA..................................................................................................23 3.2 TUJUAN CERITA....................................................................................................27 3.3 KENAPA PILIH CERITA KUNJARAKARNA UNTUK CANDI JAGO ...................29 BAB 4: ...........................................................................................................................................31 RELEVANSI CANDI JAGO DALAMKEHIDUPAN MASYARAKAT MASA KINI..........31 4.1 FUNGSI CANDI JAGO DALAM KEHIDUPAN ZAMAN SEKARANG ..................31 4.2 RELEVANSI CERITA KUNJARARAKARNA DALAM MASA KINI ........................36 BAB 5: ...........................................................................................................................................38 PENUTUP...............................................................................................................................38 5.1 KESIMPULAN ........................................................................................................38 5.2 SARAN.....................................................................................................................40 DAFTAR PUSTAKA INTERNET ..............................................................................................42 LAMPIRAN A:.............................................................................................................................43 KOMPAS- CANDIJAGO..............................................................................................................43 LAMPIRAN B:.............................................................................................................................46 KOMPAS- “DE-JAWANISASI” ....................................................................................................46 8 LAMPIRAN C:.............................................................................................................................50 KOMPAS- PADEPOKANSENIMANGUN DHARMA ......................................................................50 LAMPIRAN D:.............................................................................................................................52 KOMPAS- PADEPOKANSENIMANGUN DHARMA ......................................................................52 LAMPIRAN E:.............................................................................................................................55 KOMPAS- PENCURIANBENDA-BENDA BERSEJARAH ................................................................55 LAMPIRAN F:.............................................................................................................................56 KOMPAS- PENCURIAN BENDA-BENDA BERSEJARAH .................................................................56 LAMPIRAN G: .............................................................................................................................58 KOMPAS-ARSITEKTUR .............................................................................................................58 9 BAB 1: PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia adalah negara yang terkenal akan kekayaan sejarah budayanya, termasuk kesenian, kesusastraan dan kepercayaan agama. Selama perkembangan Indonesia dalam masa perbakala banyak bangunan yang berupa Candi bermunculan. Candi-candi itu adalah satu contoh bangunan yang menyatukan antara kesenian, kesusastraan dan kepercayaan agama. Misalnya kesenian bisa dilihat dalam konteks struktur, gambar pahatannya dan patung-patungnya yang dekat atau di dalam candinya. Aspek kesusastraan ada di dalam cerita-cerita yang digunakan sebagai relief-reliefnya dan juga terdapat pengaruh agama terhadap bentuk candi dan alasan candi itu dibangun. Pembangunan candi-candi disebabkan oleh dua alasan. Yang pertama adalah tempat suci untuk tempat pemujaan yang mau beribadah kepada dewanya. Yang kedua candi-candi dahulu dibangun sebagai kuburan para raja.1 Candi-candi itu bisa dibagi dalam tiga macam, yaitu candi Buddha, candi Hindu dan candi yang campuran kedua agama itu. Dalam zaman dulu agama Buddha dan agama Hindu adalah agama yang dianut oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Ada berberapa pendapat tentang cara agama-agama itu diperkenalkan di Indonesia, contohnya dari pedagang yang berasal dari India. Bagaimanapun ada 1 Dr Slametmulyana. Negarakretagama Dan Tafsir Sejarahnya. Bhratana Karya Aksara. Jakarta 1979. h.216 10 satu kepercayaan tentang pengenalan agama-agama itu disebabkan oleh seorang raja yang mencari pimpinan dari Brahman atau pendeta dari India. Dikatakan seorang raja suka ikut agama yang didalamnya terdapat berberapa dewa karena itu akan menguatkan kekuasaannya.2 Bagaimanapun agama-agama itu berkembang sangat pesat di Indonesia. Di masa Majapahit di Jawa Timur kepercayan tentang kedua agama itu kuat dan banyak candi-candi dibangung karena kepercayaan itu. Satu contoh adalah Candi Jago. Candi Jago terletak di desa Tumpang, dekat pasar, kira-kira 18km dari kota malang di Jawa Timur.3 Dulu Candi Jago bernama Candi Jajaghu.4 Candi itu adalah salah satu candi yang bisa ditemukan di Indonesia. “Menurut pemberitaan Kitab Negarakeretagama dan Pararaton, Candi Jago adalah tempat pendharmmaan Raja Wisnuwardhana.”5 Selain itu Raja Wisnuwardhana juga didewakan dalam bentuk Buddha di Candi Jago dan didewakan di candi lain sebagai Siwa.6 Satu aspek yang unik terhadap Candi Jago adalah relief-reliefnya. Candi Jago sering digambarkan sebagai “story-book temple”, atau “candi pustaka” yaitu candi yang seperti buku gambar atau buku cerita-cerita kesusastraan Jawa kuno.7 2 Hindu-Buddhism Period of Indonesian Archaeology. http://www.arkeologi.net/classic.php Diakses tanggal 28-2-05 3 P.Witton. E.O’Carrol dll. Lonely Planet Indonesia 7th Ed. Lonely Planet Publications Pty Ltd. SNP SPrint. Malaysia. November 2003. h.283 4 S.Suwardono dan S.Rosmiyah. Monografi: Sejarah Kota Malang. CV Sigma Media. Malang 1997. h.40 5 Suwardono h.40 6 A.Teeuw dan S.O.Robinson. Kunjarakarna Dharmmakathana: Liberation through the law of Buddha. Koninklijk Instituut voor Taal-. Land- en Volkenkunde. Netherlands 1981 7 Soekmono. Candi Fungsi dan Pengertian. Universitas Indonesia Jakarta. 1974. h.251 11 Misalnya cerita Kunjarakarna, yang didasarkan dalam cerita-cerita Jawa kuno dan belum diketemukan dalam sumber sejarah diluar Indonesia.8 Ada banyak aspek yang membuat penelitian tentang Candi Jago menarik. Dalam konteks kesenian yang berupa relief yang menghiasi candi dan patung-patung untuk menghormati dewa adalah salah satu contoh kesenian dari zaman lalu. Lagi pula relief-relief pada masa itu menggambarkan cerita kesusastraan yang penting untuk masyarakat Majapahit. Dari peninggalan tersebut ahli sejarah bisa mempelajari aspek budaya dan kepercayaan agama yang mungkin akan hilang kalau tidak ada dalam relief-relief di candi. Dari perspektif sejarah sekarang, tidak ada banyak tulisan-tulisan tentang Candi Jago. Jadi kalau tidak ada orang yang meneliti Candi Jago ada kemungkinan informasi yang penting untuk mempelajari zaman Majapahit, hilang karena candi itu diterlantarkan dan dirusak. Sekarang sudah ada banyak candi yang dilupakan dan informasinya hilang selama-lamanya. Maka penelitian tentang Candi Jago atau peninggalan lain dari zaman lalu penting sekali untuk mengerti sejarah perkembangan Indonesia dan pengaruhnya terhadap masyarakat masa kini. 1.2 RUMUSAN MASALAH Selama penelitian ini masalah yang akan dipecahkan adalah sebagai berikut: 1) Dalam pendapat masyarakat sekarang apakah Candi Jago adalah candi Buddha, candi Hindu atau candi yang campuran kedua agama itu? 8 A.Teeuw. h.2 12 2) Apa Candi Jago dan cerita Kunjarakarna masih relevan dalam zaman sekarang? 3) Dari perspektif orang Buddha, Hindu dan Islam apakah Candi Jago, atau candi-candi yang lain dari Majapahit, masih masih dianggap tempat suci? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Dalam proses penelitian Candi Jago aspek-aspek yang akan diteliti termasuk: 1) Sejarah Candi Jago dan pemahamannya dalam konteks Majapahit. 2) Fungsi candi dalam zaman lalu dibandingkan fungsi dalam zaman sekarang. 3) Pengaruh agama Buddha terhadap cerita Kunjarakarna dan Candi Jago, dan relevansi cerita Kunjarakarna untuk masyarakat sekarang. 4) Observasi tentang Candi Jago dari perspektif kesenian. 5) Mengerti pandangan masyarakat sekarang terhadap relevansi Candi Jago dengan zaman sekarang, misalnya apakah candi itu dipertimbangkan sebagai tempat suci. Laporan ini menyoroti tentang masyarakat Tumpang dan Malang, khususnya dalam masyarakat-masyarakat itu orang yang beragama Buddha, Hindu dan Islam karena mereka adalah agama yang paling berkaitan dengan Candi Jago. Yakni agama Buddha dan Hindu yang paling kuat dalam zaman dulu sementara itu, agama Islam adalah agama yang terkuat pada masa kini. 13 1.4 METODOLOGI Sebagian terbesar penelitian ini dilakukan melalui pengumpulan informasi dari sumber sejarah. Seperti biasa kebanyakan sumber-sumber tentang sejarah memakai data sekunder. Maka bagian terbesar fakta-fakta yang digunakan dalam laporan ini didapat dari data sekunder dan oleh kaerna itu semua data-data itu harus dianalisis untuk memahami fakta yang mana lebih benar. Untuk cari informasi tentang relevansi Candi Jago dan cerita Kunjarakarna dalam konteks masa kini ahli sejarah dan ahli seni diwawancarai, dan golongan orang yang beragama Buddha, Hindu dan Islam diberi angket. Mengenai pertanyaan wawancara dan angket, untuk menyoroti tentang tema-tema yang diteliti wawancara terstruktur dan angket yang ada pertanyaan semi terbuka digunakan. Struktur-struktur itu mengurangi kemungkinan dapat terlalu banyak informasi yang tidak relevan dan menfokuskan tentang aspek-aspek yang penting untuk penelitian ini. Selain itu observasi nonperilaku dan dokumentasi tentang Candi Jago dari perspektif kesenian adalah metode lain yang juga dipakai. 14 BAB 2: SEJARAH CANDI JAGO 2.1 SEJARAH MAJAPAHIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN BERDIRINYA CANDI JAGO Ada satu pendapat yang mengatakan zaman Majapahit didirikan sekitar tahun 1294 di Jawa Timur.9 Tetapi pandapat itu tidak dibenarkan oleh sumber lain yang katanya Candi Jago dibangun untuk pendharmmaan satu raja dari Majapahit, Raja Wisnuwardhana, sekitar tahun 1268 CE (Saka 1190) yaitu tahun wafatnya sebagaimana dicatat dalam Desawarna (37.7) dan Pararaton (18.12). Atau satu kemungkinan lain adalah duabelas tahun sesudah 1280 untuk upacara Sraddha.10 Menurut Pak Tom Hunter upacara Sraddha dilakukan untuk memastikan keabadian atma (arwah) Raja yang didharmmakan. Dalam contoh Candi Jago arwah Raja Wisnuwardhana dimasukan arca Amoghapasha dan lewat candi dan arca itu masyarakat Majapahit bisa memberi penghormatan kepada dia selamalamanya. Sepeninggal Raja Anusapati, yang dibunuh oleh Panji Tohjaya11 tahun 1248 atau 1249,12 Raja Wisnuwardhana dinobatkan tanggal 23 September sesudah terjadian itu. Dalam zaman dulu, ketika agama Hindu sebagai agama terkuat, para raja 9 P.Witton. h.20 10 T.M. Hunter Jr. The Aridharma Reliefs of Candi Jago (paper di dalam Society and Culture of Southeast Asia: Continuities and Change) New Delhi: International Academy of Indian Culture and Aditya Prakashan 2000: 61-101. h.29 11 Suwardono. h.40 12 Dr Slametmulyana. h.97 15 sering dianggap sebagai titisan Visnu.13 Jadi dari nama Wisnuwardhana ada kemungkinan besar dia ikut agama Hindu dan kepercayaan itu karena kalau masyarakat menghubungkan dia dengan dewa-dewa kekuasaannya . Menurut penjaga Candi Jago, Raja Wisnuwardhana beragama Siwa-Buddha tetapi ahli sejarah tidak setuju dengan kesimpulan itu karena menurut mereka tidak ada cukup bukti. Raja Wisnuwardhana memerintah kerajaan Tumapel.14 Sebelum dinobatkan Raja Wisnuwardhana biasanya dipanggil Panji Seminingrat atau di dalam Kitab Pararaton kalau dia disebut memakai nama Rangga Wuni.15 Dalam tulisan Nagarakretagama dan Pararaton ada saranan yang percaya Raja Anusapati adalah ayah Raja Wisnuwardhana tetapi ada satu pihak lain yang membantah pikiran itu.16 “(Pada) Tahun 1268 Raja Wisnuwardhana meninggal dan didharmmakan di Candi Jago sebagai Bodhisatwa Amoghapasa dan di Candi Waleri sebagai Dewa Siwa”.17 Fakta dia didewakan sebagai Dewa Buddha dan Dewa Siwa memperkuat kepercayaan dia beragama Siwa-Buddha. Ada satu pendapat tentang Raja Hayam Wuruk mempunyai kaitan dengan Raja Wisnuwardhana. Dikatakan dia pernah mengunjungi makam leluruhnya di Candi Jago. Yakni itu bisa disimpulkan Raja Hayam Wuruk keturunan dari Raja Wisnuwardhana.18 Ada satu kejadian lain 13 Dr Slametmulyana. h.102 14 Dr Slametmulyana. h.98 15 Suwardono. h.40 16 Dr Slametmulyana. h.98 17 Suwardono. h.41 18 A.Sunyoto. Petunjuk Wisata Sejarah Kabupaten Malang: Lingkaran Studi Kebudaya Malang 2000. h. 42 16 sewaktu dikatakan Raja Hayam Wuruk mengunjungi Candi Surabhana. Candi itu terletak di desa Blosan sebelah utara-timur dari dareah Kediri di Jawa Timur. Menurut dugaan candi itu dibangun untuk paman lewat penikahan, yang bernama Wijayarajasa. Demikianlah rupanya Raja Wuruk terasa itu penting untuk mengunjungi tempat suci untuk menghormati nenek-moyangnya dan kalau itu benar gagasan itu memperkuat tuntunan bahwa Candi Jago dikunjungi oleh Raja Wuruk.19 Sewaktu Raja Hayam Wuruk (1350-89) memerintah, zaman Majapahit menjadi zaman yang termuka. Namun, satu fakta yang harus ditekankan adalah ekspansi teritorial dilaksanakan oleh komandan Gajah Mada. Selama rezimnya Gajah Mada mengambil penguasaian dari hampir seluruh nusantara. Dia juga memaksakan kerajaan kecil untuk membuat pedagangan hak dengan dia. Ada yang mengatakan kerajaan Hayam Wuruk mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, Kamboja, Annam (daerah yang sekarang adalah bagian Vietnam) dan Siam (Thailand).20 Namun, runtuhnya kekaisaran Majapahit dimulai sewaktu Hayam Wuruk meninggal dunia tahun 1389. Kejadian itu disebabkan oleh pemberontakan tanah jajahan dari Jawa Utara.21 Satu faktor yang mempengaruhi kemunduran Majapahit adalah berkembangnya penerimaan kepercayaan agama Islam. Agama Islam bermula di Sumatra Utara karena pedagang dari Gujarat (daerah di India) sering lawat disitu waktu mereka 19 P.Worsley. Narrative Bas-reliefs at Candi Surawana Dalam Marr. David G. and A.C. Millner “South East Asia in the 9th to 14th Centuries” Singapore. 1986. h.335 20 P.Witton. h.20 21 P.Witton. h.20 17 mau ke Malaku atau Cina. Banyak perkampungan pedagang Arab bermunculan dan kira-kira akhir abad 12 hampir semua ujung utara Sumatra mengikuti agama Islam. Pada waktu abad 15 dan 16 Indonesia manjadikan agama Islam sebagai satu agama negerabagian. Namun, ada satu pandangan terhadap ada kemungkinan di dalam teman-teman para Raja Majapahit ada orang-orang yang beragama Islam. 22 Keruntuhan terakhir kerajaan Majapahit terjadi pada akhir abad 16. Banyak kerajaan menyatakan kemerdekaannya dan mendirikan daerahnya sebagai negara bagian Islam. Untuk menolong konversi itu pemerintah Indonesia menyatukan aspek agama Hindu dan kepercayaan adat, yaitu animisme, yang berhasil ada satu agama Islam yang campuran. Agama itu cepat diterima di seluruh Indonesia dan itu mengakibatkan Indonesia dianggap Negara yang mayoritas beragama Islam sampai saat ini. 23 Masa Majapahit adalah kerajaan besar yang paling akhir. Sejak kemunduran masa itu Indonesia berkembang dan berubah sampai dewasa ini hanya ada peninggalan seperti candi-candi atau tulisan-tulisan untuk mengingat maupun mepelajari sejarah Majapahit. 2.2 FUNGSI CANDI Dalam konteks sekarang kata candi mempunyai dua pengertian. Arti harfiah adalah tempat perlindungan, biasanya dibuat dari batu. Sedangkan arti kiasan bisa 22 P.Witton. h.20 23 P.Witton. h.20 18 digambarkan sebagai tempat yang melibatkan perasaan agama yang setinggitingginya dan perenungan mistik.24 Mengenai arti-arti tersebut, kedua artinya itu tidak harus dipisah karena tempat perlindungan sering dihubungkan dengan perasaan agama dan tenaga mistik. Kalau membicarakan tentang fungsi candi dalam zaman dulu ada dua macam. Seringkali candi-candi dibangun sebagai tempat pendharmaan para raja seperti Candi Jago. Biasanya candi-candi itu dibangun untuk mengubur abu jenazah atau sebagai tempat penghormatan terhadap seorang raja. Waktu seorang raja meninggal dunia, jenazahnya dibakar dan abu jenazah disimpan dengan barng barang yang dimilikinya dan semua dikubur di dalam lubang yang terletak di dasar candi. Kemudian Candi dibangun diatas itu dan biasanya ada arca yang menggambarkan raja itu sebagai Dewa. Selama upacara ibadah ada kepercayaan arca-arca itu dihidupkan karena dewa yang di patung masuk arca dari atas dan membuat badan batin dan badan badani dibuat dari hal-hal yang adi sama jenazah abu yang di dalam.25 Satu alasan lagi untuk membangun candi-candi adalah masyarakat itu minta tempat suci untuk menghormati dewa-dewa. Professor Zoetmulder menggambarkan candi sebagai tempat pertemuan antara pemuja dan yang dipuja.26 24 Soekmono. h.20 25 Soekmono. h.244 26 Soekmono. h.250 19 Satu cara untuk mengetahui apakah candi itu adalah candi kuburan atau candi penghormatan bisa dilihat dari reliefnya. Relief-relief yang menghiasi candi bisa disusun dalam dua cara. Yang pertama adalah cara bernama pradaksina, yaitu relief-reliefnya dibaca dari sisi canan ke sisi kiri. Candi-candi yang menggunakan cara ini adalah candi yang untuk memberi penghormatan kepada dewa. Cara kedua memakai sistem praswyu yang menyusun relief-reliefnya dibaca dari sisi kiri ke sisi kanan. Cara Praswyu adalah pertanda candi itu berfungsi sebagai pemakaman. Dalam konteks itu candi yang pemakaman biasanya ditandai oleh adanya lubang di dalam dasar struksur, namun dalam candi Buddha ciri khas itu tidak ada.27 Seperti dijelaskan fungsi candi dalam zaman lalu terutama candi dari masa Majapahit biasanya ada dua fungsi itu. Candi Jago adalah satu contoh cara fungsi-fungsi itu bisa dicampur. Yakni itu adalah tempat untuk mengubur jenazah abu Raja Wisnuwardhana dan juga itu tempat yang dia didewakan sebagai tokoh Buddha Amoghapasa. Oleh karena itu Candi Jago menjadi tempat untuk meghormati dia sebagai dewa. 2.3 KEUNIKAN CANDI JAGO DARI SISI KESENIAN Seperti sudah disebut bahwa Candi Jago dulu bernama Candi Jajaghu. Jajaghu berarti keagungan28, tetapi saat ini sedikit keagungan itu hilang karena dari jauh Candi Jago kelihatan seperti sudah rusak. Namun kalau dari dekat bisa lihat ada 27 Soekmono. h.245 20 relief-relief yang masih bagus dan struktur menarik sekali karena berbeda daripada candi-candi lain yang dibangun dalam zaman Majapahit. Bentuknya seperti pyramide yang berundak29, disusun dari 3 teras. “Makin ke atas terasnya makin mengecil” dan teras yang paling penting dan tersuci adalah teras yang teratas.30 Ada dua tangga-tangga untuk naik ke ruangan induknya yang di teras diatas, yaitu di sebelah kiri dan kanan di sisi depan.31 (Lihat Gambar 2) Seperti candi makam yang dibangun dalam masa Majapahit, Candi Jago dari sisi depan itu menghadap utara-barat ke arah dunia orang yang mati.32 Atau ada satu pendapat yang berpikir bentuk itu mengingatkan bangunan pada zaman Megalitichum yaitu bangunan punden (tempat suci) berundak. Bangunan tersebut “mempunyai fungsi pokok sebagai tempat untuk melakukan pemujaan pada arwah roh leluhur”.33 Itu hanya satu pendapat. Candi Jago dalam konteks agama ada struktur yang luar biasa. Ada satu teori yang dikatakan bentuk candicandi Buddha biasanya pendek dan lebar, seperti di Candi Borobudur, sedangkan candi-candi Hindu biasanya berbentuk tinggi dan kurus, seperti di Candi Prambanan. Tetapi Candi Jago tidak cocok dengan teori itu. Bentuknya lebih seperti mencoba mempersatukan bentuk candi Buddha dan bentuk candi Hindu. 28 Candi Jajaghu- Tumpang Malang http://www.geocities.com/d3ja Diakses tanggal 19-4-05 29 J.Fontein. R.Soekmono dan S.Suleiman. Kesenian Indonesia Purba (Zaman-zaman Djawa Tengah dan Djawa Timur) P.T. Caltex Pacific Indonesia. 1972. h.40 30 Candi Jajaghu- Tumpang Malang Diakses tanggal 19-4-05 31 Suwardono. h.40 32 Candi Jago http://hanacaraka.com/EJJago.html Diakses tanggal 28-2-05 33 Candi Jajaghu- Tumpang Malang Diakses tanggal 19-4-05 21 Gagasan itu mangembangkan kepercayaan Raja Wisnuwardhana mengikuti agama Siwa-Buddha. Di Candi Jago, Raja Wisnuwardhana didharmmakan sebagai Amoghapasha sedangkan di Candi Waleri sebagai Dewa Siwa34. Fakta-fakta itu bisa dimengerti sebagai satu cara untuk memisahkan kedua agama itu, makna Candi Jago dibangun dari alasan agama Buddha. Aspek yang meyakinkan ahli sejarah bahwa candi ini lebih Budhistis daripada Hinduistis adalah arca-arca yang bersifat Bajradhara Buddhistis. Dulu ada arca Amoghapasha dengan empat pengawalnya tetapi sekarang aeca pengawal itu tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Pengawal termasuk; Shudhanakumara, Syamatara, Hayagriwa dan Bhrekuti. Arca Amogapasha yang di halaman adalah replik yang dibuat oleh Raja Kertanegara (raja Singosari terakhir). Disamping itu adalah arca Muka Kala (muka raksaksa) yang dulu mungkin menghiasi pintu candi.35 Bukan hanya arca-arca yang mungkin tidak asli di Candi Jago. Candi Jago dikatakan berasal dari akhir Majapahit tetapi bahan-bahan batunya sangat mungkin berasal dari masa Singosari atau dari masa ketika direnovasi oleh raja Adityawarma dari Sumatra pada tahun 1343. Jadi mungkin ini menjelaskan perbedaan antara gaya seni patung dan gaya seni relief yang lebih modern. “Relief-relief dari Jawa Tengah dipahat secara naturalis sedangkan relief di Jawa Timor dipahat secara simbolis dalam bentuk wayang kulit”. Relief-relief di Candi Jago bisa dibagi dalam dua golongan. Relief yang bersifat Hinduistis dari 34 Candi Jajaghu- Tumpang Malang Diakses tanggal 19-4-05 35 Candi Jajaghu- Tumpang Malang Diakses tanggal 19-4-05 22 Mahabarata termasuk Parthayajna, Arjuna Wiwdha dan Kalayawana atau Krisna sementara yang bersifat relief-relief yang bersifat Budhistis adalah Tantri, Aridharmma dan Kunjarakarna.36 Kesimpulannya adalah Candi Jago merupakan candi Budhistis, namun kenapa memakai cerita-cerita Hindu. Pada dasarnya agama Buddha adalah gerakan pembaharuan agama Hindu. Pada zaman Majapahit kedua agama itu dicampur dengan kepercayaan adat Jawa. Maka pemisahan yang menyeluruh tidak bisa dilakukan.37 Menurut Pak Tom Hunter selama proses membangun Candi Jago paling mungkin itu dijagai oleh pendeta-pendeta yang terpenting untuk keluarga Raja Wisnuwardhana. Kalau pendeta yang menjaga pembangunan itu adalah pendeta Buddha itu tidak berarti pendeta itu hanya memakai cerita Budhistis. Sebetulnya dalam dasar pelajarannya pendeta-pendeta Majapahit mungkin ada sumber lisan dan sumber kesusastraan dari agama Buddha, agama Hindu dan dari kepercayaan adat. Waktu mereka mau mengajari tentang moralitas atau cara untuk menjadi raja yang baik, mereka mungking pilih cerita yang lebih relevan tanpa memperhatikan agama cerita itu berdasar. Mungkin pendapat itu menjelaskan kenapa Candi Jago sering digolongkan sebagai Candi Siwa-Buddha tetapi seperti tadi disebut dari arca-arca bisa dilihat Candi Jago lebih candi Buddha daripada candi campur. 36 Candi Jajaghu- Tumpang Malang Diakses tanggal 19-4-05 37 P.Witton. h.54 23 BAB 3: CERITA KUNJARAKARNA DHARMAKATHANA 3.1 SINOPSIS CERITA Cerita Kunjarakarna Dharmakthana adalah kakawin besar nomor tiga di dalam naskah Jawa Kuno. Dulu naskah itu bernama Cod. Or 5023.38 Dharmakathana adalah “suatu cerita mengenai dharma atau ajaran suci”.39 Sampai masa kini cerita itu belum diketemukan di sumber yang tidak berasal dari Indonesia40 terus dipikirkan mungkin cerita itu mulai di Indonesia dan hanya dipengaruhui oleh agama-agama negara lain. Versi yang diperiksa dalam laporan ini adalah syair yang dikarang oleh Mpu Dusun. Pak Tom Hunter, ahli sejarah, menjelaskan teori Mpu adalah gelati yang dipakai oleh pendeta yang diutamakan. Pendeta itu mungkin mewarisi hukum Jawa Kuno yang didasarkan dalam cerita-cerita dari India, misalnya Ramayana dan Mahabrata. Jadi Kunjarakarna mungkin berasal di Indonesia tetapi didasarkan dari cerita India. Relief-relief Kunjarakarna di Candi Jago mulai di teras pertama di pojok Utara- Timur dan dibaca oleh cara Praswyu yaitu relief-reliefnya dibaca dari sisi kiri ke sisi kanan. Cara Praswyu adalah pertanda candi itu berfungsi sebagai pemakaman. Ada satu cara lain untuk menyusun relief-relief yang bernama Pradaksina. Untuk cara itu relief-reliefnya dibaca dari sisi kanan ke sisi kiri. Candi-candi yang menggunakan cara ini adalah candi yang untuk memberi penghormatan kepada 38 A.Teeuw. h.VII 39 P.J.Zoetmulder. Kalangwan: sastra Jawa kuno selayang pandang Djambatan. Indonesia 1983. h.470 40 A.Teeuw. h.2 24 dewa.41 Terus cerita Kunjarakarna berhenti di pojok Utara-Barat dan dilanjutkan di lajur antara teras pertama dan kedua. Bagian kedua itu mulai di atas akhir bagian pertama di pojok Utara-Barat dan selesai di sebelah selatan. Cerita yang digambarkan dalam relief-relief di Candi Jago agak berbeda daripada syair. Cerita di relief disingkat dan disederhana karena syair terlalu panjang untuk mengambarkan semua, maka ajaran yang panjang dari Yama dan Wairocana dilupakan. Penyederhanaan itu mungkin dilakukan karena seniman yang memahat relief mengira orang yang melihat pahat-pahat itu bisa memecahkan itu adalah cerita Kunjarakarna dan mereka seharusnya sudah tahu cerita dan ajarannya.42 Relief itu hanya untuk menghiasi Candi Jago dan membuat orang yang mengunjungi candi itu mengingat cerita itu dan ajarannya. Cerita mulai dengan penyair yang meminta maaf kalau syairnya kurang menghormati cerita itu. Cerita berisi sebagai berikut: Kunjarakarna tinggal di Gunung Meru sendiri dan selalu memakai yoga untuk meditasi dan beribadah ke Buddha. Dalam syair ini Kunjarakarna adalah yaksa dan dia mau mengunjungi Wairocana untuk dapat kekuasaan untuk mengubah rupanya yaksa. 41 Soekmono. h.245 42 A.Teeuw. h.207 25 Satu perbedaan yang menarik adalah di dalam syair Kunjarakarna karena yaksa bisa menyeberang ke tempat Wairocana tetapi di dalam relief dia tidak digambar sebagai yaksa dan berjalan kaki. Waktu datang di tempat Wairocana, Kunjarakarna memberi penghormatan kepada Wairocana dan menjelaskan alasan dia mengunjungi. Wairocana menyuruh Kunjarakarna ke neraka untuk mengerti hukuman kalau tidak mengikuti ajaran Buddha dan minta terlalu banyak kekuasaan. Sedang perjalanan dia berhenti di persimpangan dan bertemu seorang yaksa yang menjelaskan jalan-jalan itu menuju kemana. Ke arah Timur adalah daerah Iswara dan itu untuk orang yang dalam kehidupannya kuat beribadah. Jalan ke arah Utara Wisnu memerintah pahlawan perang sementara Mahadewa ke sebelah Barat adalah daerah pahlawan yang bekerja untuk menolong dunia. Tetapi tujuan Kunjarakarna terletak di arah Selatan lewat jalan untuk pendosa yang mau ke neraka, tempatnya Yama. Syair kemudian menggambarkan kengerian neraka. Misalnya Pohon yang berdaun senjata pisau belati dan rumput pedang atau kawah tembaga yang berkepala sapi yang duduk di bawah pohon senjata. Kawah itu bernama Gomuka, atau kawah neraka. Waktu diajari Yama tentang hukuman pendosa dia diberi tahu dewa Purnawijaya akan ke neraka karena dia tidak mengikuti ajaran Buddha. Ada satu kawah yang 26 kosong untuk dia. Dari neraka Kunjarakarna langsung ke tempat Purnawijaya untuk memperingatkan nasibnya. Kemudian Kunjarakarna dan Purnawijaya ke tempat Wairocana untuk minta maaf atas dosanya. Sebagai hukuman Purnawijaya disuruh masuk neraka untuk 9 malam. Dia pulang dan cerita ke istrinya apa yang terjadi dan menyuruh dia menjaga badan dia selama tidurnya waktu dia mati dan masuk neraka. Di neraka Purnawijaya meditasikan ajaran Buddha dan karena itu dia tidak disakiti oleh kengerian neraka. Malahan neraka berubah dan berkembang untuk daerah yang indah sekali. Misalnya pohon pisau belati diganti dengan pohon yang indah dan berbuah batu pemata. Pada hari nomor 10 dia kembali ke surga dan istrinya sangat gembira. Purnawijaya, isterinya dan semua dari surga Widyadhara ke tempat Wairocana untuk memberi kehormatan dan mengucapkan terima kasih atas ajarannya. Disana Wairocana menjelaskan mengapa Purnawijaya hanya di neraka selama 9 hari dan menceritakan tentang kehidupan dulu Kunjarakarna, Purnawijaya dan istrinya dan pengaruh tindakan dalam kehidupan itu terhadap kehidupan mereka sekarang. Namun, ajaran itu tidak digambarkan dalam relief mungkin karena terlalu panjang. Cerita selasai dengan Purnawijaya menyuruh orangnya (yaitu masyarakat Gandharwa) pulang ke surga Widyadhara karena dia dan isterinya mau pergi ke Gunung Semeru untuk beribad dan menyoroti kehidupannya tentang pelajaran 27 ajaran Buddha. Kunjarakarna, di tempat Wairocana sudah mencapai kebebasan dan nanti di Gunung Semeru Purnawijaya dan isterinya juga mencapai nirvana. Terhadap relief-relief di Candi Jago cerita berakhir dengan gambar Purnawijaya dan isteri waktu mereka mau ke Gunung Semeru tetapi karena banyak relief dari sisi Selatan sudah hilang tidak bisa tahu apakah itu terakhir cerita apa tidak.43 3.2 TUJUAN CERITA Untuk mulai proses pengertian cerita Kunjarakarna mungkin seharusnya memahami agama Buddha dulu. Dikatakan pangeran India, Siddhartha Gautama mendirikan agama Buddha sekitar abad 6.44 Menurut dia penderitaan kehidupan disebabkan oleh selera manusia dan untuk kebebasan dari penderita itu manusia harus mengatasi selera-seleranya.45 Tujuan itu adalah dilepaskan dari pengulangan kelahiran,46 kelepasan itu bernama Nirvana. Proses untuk mencapai Nirvana dipanggil 8 cara , yaitu delapan tindakan yang harus dikuti dalam kehidupannya. Yaitu kebenarnya dalam pengertian, pemikiran, pembicaraan, tingkah, mata pencaharian, pengusahaan, perhatian dan konsentrasi.47 Ajaran-ajaran itu termasuk Dharmma, Pak Tom Hunter mengambarkan Dharmma sebagai cara tindakan yang benar di dalam kehidupannya. Ada banyak ajaran lain tetapi ajaranajaran itu yang terpenting terhadap cerita Kunjarakarna. Tema yang terpenting dalam cerita Kunjarakarna adalah ajaran nirvana yang dicapai lewat penerimaan ajaran Dharmma dari Waironcana dan mendapat 43 Semua bab 3.1 didasarkan dari Kunjarakarna Dharmakathana oleh A.Teewu 44 P.Witton. h.54 45 P.Witton. h.54 46 A.Shalaby. Perbandingan Agama: Agama-agama Besar di India (Hindu/ Jaina/ Buddha). P.T. Bumi Asara. Jakarta 2001. h.130 47 P.Witton. h.54 28 kebaikan hatinya. Dalam syair itu, contohnya kelepasan itu bisa dilihat di akhir cerita waktu Kunjarakarna dan nanti Purnawijaya meloloskan diri dari perbudakan kehidupan.48 Selain itu ajaran Karma juga ada di dalam cerita Kunjarakarna. Satu contoh akibatnya Karma bisa dingerti lewat cerita Waironcana tentang kehidupan dulu Kunjarakarna dan Purnawijaya dan pengaruh tindakan di hidup itu terhadap hidup sekarang. Konsepsi Dharmma benar-benar mulai di dalam agama Buddha. Dikatakan dewa “Buddha pernah bersabda: ‘Bila Anda melihat saya, maka Anda melihat Dharmma (ajaran Buddha) dan bila Anda melihat Dharmma, maka Anda akan melihat saya.’49” Dalam semua buku-buku tentang agama Buddha konsepsi Dharmma selalu ada dan karena tema yang terutama di dalam cerita Kunjarakarna adalah Dharmma maka bisa disimpulkan itu adalah cerita Buddhistis. Namun ada berberapa aspekaspek yang membuat cerita itu tidak Buddhistis murni. Pengaruh agama Hindu bermuncul di dalam diskripsi-diskripsi neraka karena neraka-neraka itu lebih bersifat seperti kepercayaan Hindu. Selain itu Panteon Hindu juga disebutkan. Ajaran tentang lima atma dan san wisesa atau komposisi manusia berdasar dalam kepercayaan adat Jawa.50 Fakta-fakta itu mungkin menuju ahli sejarah untuk percaya cerita itu berasal dari Indonesia karena hanya ada kemungkinan kecil kepercayaan adat khususnya Jawa Timur bisa masuk negara lain dan ceritanya. Pada zaman dulu India sudah kuat berdasarkan dalam 48 A.Teeuw. h.6 49 K.Armstrong. Buddha. Bentang Budaya. Yogyakarta 2003. h.XV 50 A.Teeuw. h.9 29 agama Hindu dan Buddha lebih mungkin waktu ajaran-ajaran dari India diterima oleh orang Jawa, kepercayaan adat Jawa dicampur dengan ajaran itu untuk mengarangkan cerita itu. Campuran itu mungkin membuat transisi ke agama Hindu dan Buddha lebih muda. 3.3 KENAPA PILIH CERITA KUNJARAKARNA UNTUK CANDI JAGO Ada kemungkinan besar cerita itu tidak dipilih oleh Raja Wisnuwardhana , lebih mungkin oleh pendeta-pendeta yang mengurusi pembangunan Candi Jago. Kalau begitu, mereka harus memilih cerita yang relevan untuk masyarakat saat itu dan yang memberi pelajaran juga. Dari sifatnya cerita Kunjarakarna termasuk golongan cerita Buddha, hanya waktu memeriksa cerita itu bisa dimengerti adalah pengaruh agama lain. Jadi karena Candi Jago adalah candi Buddha untuk Raja Wisnuwardhana cerita itu sangat cocok. Itu mengajar apa yang terjadi kalau tidak ikut ajaran Buddha, dan gambar-gambar ngeri sekali. Hukuman itu dibandingkan dengan Raja Wisnuwardhana yang mungkin mencapai Nirvana dan didewakan sebagai Amogapasha, itu adalah contoh apa yang mungkin terjadi kalau benarbenar percaya. Mungkin aspek yang paling penting sudah disebut. Cerita Kunjarakarna mencampurkan kepercayaan Hindu, Buddha dan adat Jawa Timur dan oleh karena itu mungkin lebih muda untuk masyarakat Majapahit mengerti dan menerima ajaran-ajaran itu. Kalau pendeta-pendeta yang menguruskan Candi Jago memilih cerita yang terkenal di India tetapi tidak di Indonesia, itu membuat masalah waktu cerita itu dipahat sebagai relief. Itu lebih sulit untuk orang-orang umum Indonesia 30 mengerti tokoh-tokoh atau tujuan dari relief saja. Seperti di Kunjarakarna, kalau belum mengetahui cerita, sulit untuk mengerti apa yang terjadi di dalam gambargambar relief. Mengenai alasan kebenaran tentang pilihan Kunjarakarna untuk menghiasi Candi Jago, tidak mungkin bisa tahu. Ada banyak fakta yang mempengaruhi alasan itu. Misalnya mungkin pendeta itu tidak berasal dari luar negeri dan belum belajar cerita-cerita dari India. Kalau itu, cerita Kunjarakarna benar-benar mulai di Indonesia. Atau mungkin itu tidak pendeta yang memilih tetapi seorang raja atau keluarga Raja Wisnuwardhana. Atau seperti sudah disarankan bahwa relief-relief hanya dipahat sewaktu direnovasi, maka tidak relevan untuk masyarakat Raja Wisnuwardhana tetapi untuk masyarakat saat itu. Alasan yang benar mungkin sudah hilang selama-lamanya dan sekarang hanya bisa diterka apa yang terjadi di zaman dulu. 31 BAB 4: RELEVANSI CANDI JAGO DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MASA KINI 4.1 FUNGSI CANDI JAGO DALAM KEHIDUPAN ZAMAN SEKARANG Seperti negara-negara lain di seluruh dunia, kemajuan teknologi dan masyarakat menyebabkan Indonesia mengalami perkembanan dan perubahan. Walaupun perkembangan masyarakat itu penting untuk mengikuti kemajuan negara lain, ada beberapa akibat-akibat yang buruk. Contohnya dalam proses kemajuan banyak aspek budaya dilupakan karena dirasa ketinggalan zaman. Termasuk candi yang ditinggalkan dan dihancurkan oleh alam atau pencuri-pencuri. Contoh lain adalah banyak kesusastraan yang hilang atau dikira tidak diperlukan oleh masyarakat sekarang. Namun di pihak lain ada golongan kecil yang mencoba mengerti sejarah kuno Indonesia dan mengajarkan kepada masyarakat tentang pentingnya purbakalah dan peninggalannya. Terhadap masyarakat sekarang di kota Malang pengertian tentang candi Jago kurang kuat. Hasil-hasil dari angket banyak orang yang beragama Buddha, Hindu dan Islam menarik sekali. Penganut Hindu adalah yang paling banyak orang yang sudah mengetahui candi Jago. Orang agama Buddha juga ada banyak yang sudah tahu tetapi orang agama Islam kurang dari 50% sudah tahu Candi Jago. Dari yang sudah mengetahui, mereka sudah pernah dengar tentang Candi Jago, mungkin setengah dari mereka itu tahu letaknya dan hanya golongan yang kecil sekali sudah pernah kesana. 32 Tentang pertanyaan apakah Candi Jago adalah candi Buddha, candi Hindu atau candi campuran kedua agama itu, orang Islam ada bagian terbesar yang percaya itu adalah candi Hindu dan tidak ada satu orang yang berpendapat itu adalah candi Buddha. Sedangkan orang Buddha dan orang Hindu berdua ada kebanyakan yang mengatakan itu adalah candi campuran. Dua contoh adalah orang Buddha dan orang Hindu yang mengatakan itu adalah candi campuran karena “Candi Jago merupakan hasil kebudayaan kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan yang rakyatnya penganut agama Hindu dan ada yang beragama Buddha” “Bercampurnya kedua agama karena sinkretisme kedua agama” Menurut satu Bikhsu, dari Vihara Buddha, Candi Jago bukan candi Buddha tetapi ada satu lain yang berpendapat bahwa itu adalah candi campuran. Tetapi kedua Bikhsu itu tidak tahu banyak tentang Candi Jago. Terhadap alasan Candi Jago dibangun mungkin seperempat orang tahu sedikit tetapi biasanya mereka hanya terka dari pengetahuan yang mereka sudah punya tentang sejarah candi lain. Misalnya: “Untuk menyenang kerajaan-kerajaan pada zaman dulu” “Alasan dibangun Candi Jago untuk tempat penyimpanan relik dan tempat pemujian” 33 “kemungkinan pada jaman dahulu pernah adanya perkembangan agama Hindu di Jawa Timur ini sehingga dibangun Candi Jago sebagai simbul” “Untuk kebersamaan antara Hindu dan Buddha guna menerapkan toleransi yang sejati dan tulus pada kedua agama” Hasil yang sangat mengherankan ditemukan waktu melakukan angket di desa Tumpang. Seperti diperkirakan orang-orang di Tumpang tahu letaknya Candi Jago dan hampir semua sudah pernah mengunjungi itu. Tapi fakta yang mengherankan adalah sangat sedikit orang tahu Candi Jago dibangun untuk pendharmmaan Raja Wisnuwardhana. Mereka tahu itu terletak di Jalan Wisnuwardhana atau Jalan Candi Jago tetapi mereka tidak mengerti hubungan sejarah Candi Jago dengan nama jalannya. Sebetulnya pengertian masyarakat Tumpang terhadap Candi Jago kurang kuat, sama dengan masyarakat Malang kota. Satu fakta lagi yang menarik dikasih tahu dari penjaga. Candi Jago sering dipanggil Cungkup oleh penduduk Tumpang, dan artinya itu adalah kubah yang menutupi kubur. Jadi itu aneh sekali kebanyakan masyarakat Tumpang tidak bisa menghubungkan Cungkup dengan Jalan Wisnuwardhana dan menerka alasan candi itu dibangun. Selama penelitian ini ada dua pertanyaan yang paling penting. Apakah Candi Jago masih dianggap tempat suci dan apa relevansi untuk zaman sekarang? Untuk menjawab pertanyaan itu, tiga golongan diberi angket yaitu orang Buddha, Hindu dan Islam. Agama-agama itu adalah agam yang paling berkaitan dengan Candi 34 Jago. Menurut orang Buddha dan Hindu, Candi Jago dan candi-candi yang lain adalah tempat suci. Ada berberapa alasan, termasuk: “Mungkin candi-candi tersebut sebagai tempat suci dan tempat suci tersebut memiliki nilai tersendiri sebagai tempat suci” “Karena dianggap suci dimana dahulu pada kerajaan-kerajaan candi tersebut sebagai simbul kerajaan atau tempat raja” “Karena candi itu merupakan peninggalan dan biasanya candi itu memiliki sejarah yang begitu mendalam, seperti di Candi Borobudur, yang merupakan peninggalan agama Buddha” “Karena dipakai sebagai tempat pemujaan (sembahyang)” Namun di dalam golongan orang Islam ada dua pandangan. Bagain terbesar tidak setuju Candi Jago adalah tempat suci karena mereka tidak ikut menyakini kepercayaan agama lain. Akibatnya mereka tidak menganggap candi-candi sebagai tempat suci hanya memikirkan sebagai peninggalan bersejarah. Ada berapa mahasiswa dari UIN (Universitas Islam Negeri) yang tidak menganggap candi sebagai tempat suci tetapi mereka percaya ada sesuatu mistik yang melindungi tempat-tempat seperti itu. Tetapi di pihak lain ada golongan kecil yang menghormati candi-candi kuno sebagai tempat suci untuk orang yang ikut agama candi itu. Jadi tempat-tempat itu, seperti Candi Jago, harus dihormati untuk menghindari penghinaan terhadap kepercayaan orang yang beragama lain. Tentang relevansi untuk masa kini banyak orang dari semua golongan mengatakan itu adalah tempat pemujaan tetapi penjaga Candi Jago dan Pak Soleh 35 kedua bilang kepercayaan itu salah. Saat ini sebagian besar masyarakat Tumpang beragama Islam dan jarang ada orang Hindu atau Buddha yang mengunjungi candi itu. Pak Soleh berpendapat bahwa ada kemungkinan mereka takut karena sekarang Tumpang adalah daerah Islam. Dari hasil angket-angket bisa melihat bahwa makna dan fungsi Candi Jago berubah sejak zaman Majapahit. Sekarang Candi Jago lebih dianggap sebagai simbol sejarah Indonesia dan oleh karena itu fungsinya adalah tempat mempelajari sejarah zaman dulu, yaitu untuk penelitian seperti laporan ini. Untuk masyarakat umum Candi Jago adalah tempat pariwisata. Kalau mau jalan kaki dari jalan besar ke Candi Jago hanya mungkin lima minit tetapi harus lewat banyak dokar-dokar yang menunggu penumpang dan kalau orang bule lewat tempat parkir dokar yang selalu diganggu oleh kusir dokar itu untuk naik dokar keliling Candi Jago dan desa Tumpang. Dari buku tamu di Candi Jgo itu bisa dilihat kadang-kadang ada turis yang mengunjungi candi itu tetapi hanya sedikit kalau dibandingkan dengan candi-candi seperti Candi Singosari atau yang lain yang di dalam pusat Malang. Anak remaja yang sering kumpul di warung di sebelah kiri Candi Jago mengatakan sekarang itu terkanal sebagai tempat pacaran. Itu dibetulkan oleh salah satu penjaga. Dulu kalau naik ke tingkatan yang teratas bisa turun, lewet lubang, dan masuk di dalam candi. Mungkin tempat itu digunakan untuk menyimpan jenazah abu Raja Wisnuwardhana dan untuk keluarga yang mau mengunjungi abu-abunya. Namun sekarang lubang itu harus ditutup karena itu 36 sering dipakai untuk pacar-pacar yang mau sembunyi atau untuk remaja yang mau mengunakan narkoba atau minum miras. Dari observasi di Candi Jago itu bisa dilihat untuk anak-anak kecil dari sekolah SD yang terletak di seberang jalan, Candi Jago hanya adalah tempat mainan bukan tempat suci. Hasil-hasil ini menekankan fakta yang menyedihkan. Yaitu tempat yang dulu suci karena kuburan seorang Raja sekarang sudah hilang kesuciannya dan tidak dipakai untuk upacara atau bersembayang untuk memberi penghormatan kepada dia. 4.2 RELEVANSI CERITA KUNJARARAKARNA DALAM MASA KINI Dalam zaman dulu cerita seperti Kunjarakarna digunakan untuk mengajari masyarakat tentang cara penghidupan yang paling benar. Namun, masyarakat memaju dengan dunia yang bermaju dan relevansi cerita-cerita seperti Kunjarakarna hilang untuk masyarakat itu. Karena agama Buddha dan Hindu diganti oleh agama Islam, sebagai agama yang terkuat, ajaran seperti dharmma hilang makna dan metode memakai cerita untuk mengajar dianggap model kuno. Pak Tom Hunter berpendapat bahwa cerita Kunjarakarna tidak begitu relevan untuk masyarakat sekarang karena kebanyakan tidak beragama Hindu atau Buddha. Dari angket-angket yang diedarkan ternyata hanya dua orang dari Tumpang sudah mengetahui cerita Kunjarakarna sementara tidak ada satu dari Malang. Mereka tahu cerita itu dari Candi Jago tetapi tidak memahami pesan dan ajarannya. Hasil 37 ini menunjukkan masyarakat masa kini sudah berubah dan maju dan sekarang cerita dari zaman dulu tidak relevan untuk bagian terbesar rakyat umum sekarang. Di pihak lain dalam tahun-tahun belakangan ini cerita Kunjarakarna muncul lagi dalam rupan wayang lakon dan pentasan di Jawa disebabkan oleh kebangkitan agama Buddha. Ada satu contoh di Tumpang yang membenarkan pandangan itu. Di Padepokan Seni Mangun Darma Pak Soleh sering memakai cerita Kunjarakarna, dan cerita yang lain, dari Candi Jago di dalam keseniannya. Dalam wawancara dia menjelaskan tentang dia merasa berkaitan dengan cerita Kunjarakarna dan itu sering sebagai inspirasi untuk dia. Terhadap cara Kunjarakarna digunakan dalam seninya, mulai sebagai wayang dan berkembang. “Kemudian dari wayang itu ke wayang wong, semenjak itu menjadi wayang orak yang akhirnya juga dipotong-potong menjadi tari” Ada kemungkinan cerita Kunjarakarna masih dipakai didaerah lain atau bidang lain tetapi dalam konteks zaman ini cerita itu paling penting dibentuk relief. Di dalam adegan-adegan di relief itu, ahli sejarah bisa belajar aspek-aspek apa yang paling penting untuk masyrakat Majapahit. Dari Kunjarakarna ahli bisa memahami konsep dharmma dan hukuman kalau tidak mengikuti ajaran itu. Oleh karena itu mungkin cerita Kunjarakarna paling relevan untuk bidang sejarah atau kesenian dan makna itu sekarang sudah hilang untuk masyarakat umum. 38 BAB 5: PENUTUP 5.1 KESIMPULAN Candi Jago adalah salah satu candi yang merupakan peninggalan dari zaman dulu. Oleh karena itu Candi Jago penting untuk pengertian tentang masa Majapahit. Candi itu menjadi jawaban untuk kegaiban sejarah . Alih-alih sejarah bisa memeriksa candi-candi untuk mengerti aspek-aspek zaman dulu. Candi Jago dan candi-candi yang lain adalah satu cara masyarakat umum bisa belajar sejarah dalam konteks yang mungkin lebih menarik daripada belajar dari buku sejarah yang membingungkan atau terlalu detail. Jadi Candi Jago adalah alat untuk mengerti sejarah tetapi sejarah itu juga penting untuk Candi Jago. Kepercayaan zaman itu adalah alasan Candi Jago dibangun dan sejarah zaman dulu penting karena peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam sejarah menyebabkan Indonesia berkembang dan memaju sampai mengakibatkan Indonesia yang berada masa kini. Sejarah juga adalah satu alasan Candi Jago dan candi-candi yang lain masih relevan. Satu aspek alih sejarah menyelidiki waktu mau mengerti zaman dulu adalah relief-relief yang ada di candi. Kunjarakarna bukan hanya cerita yang menghiasi Candi Jago tetapi dalam zaman dulu itu juga alat untuk mengajari masyarakat umum tentang agama. Lewat pahat-pahat, orang yang mengunjungi Candi Jago 39 untuk memberi kehormatan kepada Raja Wisnuwardhana, bisa ingat tujuan dan ajaran cerita itu. Sekarang cerita Kujarakarna masih sebagai alat mengajar tetapi mengajar agama terhadap sejarah masyarakat Majapahit. Cerita itu tidak relevan sebagai alat mengajar agama Buddha salam masa kini karena bagian terbesar masyarakat mengikuti agama Islam. Ahli sejarah atau masyarakat umum bisa belajar kepercayaan agama itu atau aspek budaya tetapi sekarang juga harus dingerti dalam konteks sejarah. Seperti tersebut di dalam bab-bab yang lalu fungsi candi-candi dalam konteks masa kini sudah berubah. Terhadap apakah perubahan itu lebih baik atau buruk, sulit untuk menjawab. Mungkin itu hanya berbeda. Dulu Candi Jago dihormati sebagai tempat suci tetapi sekarang dihormati karena adalah peninggalan zaman yang menyimpan jawaban tentang pertanyaan sejarah. Tetapi kalau dibandingkan pada masyarakat umum Majapahit dan masyarakat umum masa kini kehormatan yang dulu ada berbeda. Dulu mungkin ada lebih banyak yang menghormati Candi Jago dan respek itu lebih kuat daripada sekarang. Maka karena fungsi berubah, makna kepada masyarakat Tumpang juga berubah dan kesuciannya hilang karena Indonesia berbeda. Perubahan makna candi dalam konteks masa kini sudah menolong membebaskan candi-candi Indonesia dari posisi terpencil dalam arsitektur sejaman di Asia dan memperkuat sejarah budaya dan sejarah kesenian negaranya.51 51 Soekmono. h.253 40 5.2 SARAN Selama penelitian ini ada berberapa masalah yang muncul. Walaupun ada orang yang masih meneliti Candi Jago dan candi-candi lain yang ditinggalkan dari zaman dulu, golongan itu kecil sekali. Oleh karena itu tidak ada banyak sumbersumber tentang sejarah dan makna yang tersedia untuk masyarakat umum. Lagipula karena kebanyakan orang zaman ini beragama Islam jadi makna dan sejarah tidak relevan untuk mereka. Fakta-fakta itu membuat informasi yang penting tentang zaman Majapahit, yaitu sejarah orang-orang Indonesia, hilang. Sehingga candi tidak lagi dianggap hanya sebagai tempat wisatawan masalahmasalah sejarah akan dianggap tidak lagi penting dan candi-candi akan dilupakan. Masyarakat sekarang harus mencoba memelihara dan mengerti peninggalan zaman karena sejarah itu menyebabkan Indonesia menjadi Indonesia yang berada masa kini. Mungkin kalau mata pelajaran tentang sejarah kuno lebih tersedia dan anak-anak generasi ini bisa menolong informasi sejarah tidak dihilangkan selamalamanya. Sebagai penutup, Candi Jago dan candi-candi yang lain tidak dimengerti oleh kebanyakan orang Indonesia masa kini. Seharusnya ada lebih banyak pelajaran tentang sejarah dan makna Candi Jago, dan juga tentang relief-relief atau arcaarca yang menghiasi candi itu karena bukan hanya zaman depan yang penting tetapi zaman yang lalu juga. Peninggalan seperti itu penting sekali untuk budaya, kesenian dan kesusatraan Indonesia. Kalau itu dilupakan sebagian negara itu juga hilang dan itu menyedihkan sekali. 41 DAFTAR PUSTAKA Armstrong, Karen. Buddha, Bentang Budaya, Yogyakarta 2003 Fontein, Jan. Soekmono, R. dan Suleiman, Satyawati. Kesenian Indonesia Purba (Zaman-zaman Djawa Tengah dan Djawa Timur), P.T. Caltex Pacific Indonesia, 1972 Hunter Jr, Thomas. M. The Aridharma Reliefs of Candi Jago (paper di dalam Society and Culture of Southeast Asia: Continuities and Change) New Delhi: International Academy of Indian Culture and Aditya Prakashan 2000: 61-101 Kempers, A.J.Bernet. The Kunjarakarna Reliefs of Candi Jago, (paper di dalam Kunjarakarna Dharmakathana: Liberation through the law of the Buddha) Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- en Volken- (KITLV), Netherlands 1981 Kempers, Dr A.J.Bernet. Ancient Indonesian Art, N.V Boekhandel Antiquariaat en Uitgerverij C.P.J van der Peet Amsterdam, Netherlands 1959 Shalaby, Prof. Dr. Ahmad. Perbandingan Agama: Agama-agama Besar di India (Hindu/ Jaina/ Buddha), P.T. Bumi Asara, Jakarta 2001 Slametmulyana, Prof. Dr. Negarakretagama Dan Tafsir Sejarahnya, Bhratara Karya Aksara, Jakarta 1979 Soekmono, R. Candi Fungsi dan Pengertian, Universitas Indonesia Jakarta, 1947 Sunyoto, Agus. Petunjuk: Wisata Sejarah Kabupaten Malang “Lingkaran Studi Kebudaya Malang” 2000 Suwardono, S. dan Rosmiyah, Supiyati. Monografi: Sejarah Kota Malang, CV Sigma Media, Malang 1997 Teeuw, A. dan Robinson, S.O. – Poem by Mpu Dusun. Kunjarakarna Dharamkathana: Liberation through the law of the Buddha, Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- en Volken- kunde (KITLV), Netherlands 1981 Witton, P. O’Carrol, E. dll, Lonely Planet Indonesia 7th Ed, Lonely Planet Publications Pty Ltd, SNP SPrint, Malaysia, November 2003 Worsley, Peter. Narrative Bas-reliefs at Candi Surawana Dalam Marr, David G. and A.C. Millner “South East Asia in the 9th to 14th Centuries” Singapore, 1986 Zoetmulder, P.J. Kalangwan: sastra Jawa kuno selayang pandang Djambatan, Indonesia 1983 42 DAFTAR PUSTAKA INTERNET Hindu-Buddhism Period of Indonesian Archaeology http://www.arkeologi.net/classic.php Diakses tanggal 28-2-05 Candi Jago http://hanacaraka.com/EJJago.html Diakses tanggal 28-2-05 Candi Jajaghu- Tumpang Malang http://www.geocities.com/d3ja Diakses tanggal 19-4-05 43 LAMPIRAN A Kompas- Candi Jago KOMPAS Sabtu, 25 Januari 2003 Dongeng yang Masih Bisu di Candi Jago RELIEF-relief Candi Jago yang menuangkan kisah-kisah klasik dan mampu menjadi sumber pengajaran moral secara universal, tentu saja tak dapat berbicara sendiri kepada anak-anak sekolah yang kebetulan bermain di sana. Peranan lembaga sekolah seharusnya mampu menjembatani kesenjangan pendidikan sejarah lokal bagi anak-anak tersebut. CANDI Jago yang dahulu bernama Candi Jajaghu ini berada di Tumpang, Kabupaten Malang. Diperkirakan berdiri pada sekitar Abad XII, masa Kerajaan Singasari. Jaraknya sekitar 22 kilometer dari tengah Kota Malang ke arah timur, atau arah menuju kawasan Gunung Bromo-Semeru. Meskipun bentuknya sudah tidak lagi utuh, candi itu masih tetap megah dan kokoh serta menarik dikunjungi anak-anak. Meskipun mereka juga tinggal di sekitar candi, anak-anak itu menjadi sekadar bermain untuk membunuh waktu keengganan berada di rumah. Anak-anak bermain di Candi Jago tak ubahnya ketika bermain di suatu tumpukan batu yang dianggap tidak memiliki arti sama sekali. Padahal, relief-relief di bebatuan candi di Candi Jago itu menyuguhkan dongeng yang menarik bagi mereka. Namun, dongeng itu masih bisu dan sama sekali belum memberi kekayaan batin bagi anak-anak. Anak-anak itu begitu bebas bertingkah polah di tumpukan bebatuan candi. Mereka bahagia karena bisa melepas kepenatan selama duduk di kursi kelas. Anak-anak dengan meraba batu-batu candi akan memiliki pengalaman mengembangkan imajinasi masing-masing. Lalu, melihat-lihat tumpukan batu yang simetris sehingga tumpukan batu candi tak mudah roboh, suatu petualangan kecil bagi imajinasi seorang anak yang sangat mengesankan. Anak-anak itu juga sangat suka memanjat tumpukan batu atau dinding batu candi. Lalu, mereka berpegangan satu sama lain di ketinggian candi. Dalam benak masing-masing mungkin merasa takjub akan kemegahan Candi Jago ini, bagaimana pada zaman dulu sudah ada karya cipta yang mengagumkan. Akan tetapi, rasa takjub itu belum pernah ditelusuri oleh rasa keingintahuan masingmasing yang mendalam tentang falsafah hidup atau ajaran moral yang ditawarkan melalui candi tersebut. Khususnya dari relief-relief yang bisa menjadi petunjuk kehidupan masa lampau. Beberapa anak mengungkapkan bahwa mereka sama sekali tidak tahu akan adanya peninggalan-peninggalan bermakna melalui tumpukan batu atau relief yang ada. Bahkan, mereka tak akan pernah tahu adanya lima kisah klasik dari relief-relief candi tersebut, meskipun mereka tinggal di lokasi yang berdekatan dengan candi itu. Hal demikian di antaranya ada kekurangan dalam pengembangan kurikulum pendidikan sejarah lokal. Menurut Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Malang (UM) Prof Dr HM Habib Mustopo, pemerintah daerah, baik Kota maupun Kabupaten Malang, saat ini belum sepenuhnya menggali pengembangan potensi-potensi pendidikan sejarah lokal. Ini berbeda dengan wilayah lainnya, di antaranya seperti Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto. Ia mencontohkan, Bupati Mojokerto kini tengah memperbaiki materi pendidikan sejarah lokal. Upaya tersebut melibatkan dirinya untuk penyusunan materi-materi kurikulum pendidikan lokal. 44 Materi pendidikan itu diutamakan pada pengembangan sejarah Kerajaan Majapahit yang pernah tumbuh dan berkembang di wilayah Mojokerto. Pengembangan pendidikan lokal sangat terkait erat dengan pengembangan era otonomi daerah. Pada era otonomi daerah dengan tren globalisasi informasi maupun yang lainnya, pengembangan potensi-potensi lokal menjadi sangat mutlak diperlukan. Pengembangan potensi lokal selain memberikan manfaat transformasi nilai budaya dan moral tersendiri, juga meningkatkan eksistensi yang berguna dalam tata pergaulan wilayah. "Pemerintah daerah di Malang ini sudah ketinggalan dengan pemerintah daerah lainnya untuk pengembangan pendidikan sejarah lokal," kata Habib yang menyinggung pula potensi pengembangan pendidikan sejarah lokal, terutama sejarah Kerajaan Singasari di Malang. Kepemimpinan Wali Kota Suyitno, yang mengemban motto Tribina Cita Kota Malang sebagai kota pendidikan, pariwisata, dan industri, hingga kini sama sekali belum berbuat banyak untuk mengembangkan pendidikan. Dan, pengembangan pendidikan sejarah lokal Kerajaan Singasari memberikan peluang yang sangat luar biasa. Sebab, peninggalan kuno berupa candi, termasuk Candi Jago atau yang lainnya, relatif banyak bertebaran di seputar wilayah Malang. POTRET kecil anak-anak bermain di Candi Jago, yang sekadar bermain dan ternyata hanya untuk membunuh waktu sepulang sekolah, menunjukkan kebutuhan anak-anak belum sepenuhnya terjawab oleh dunia pendidikan mereka. Padahal, peluang dan potensi dari yang sudah dimiliki terbentang luas. Anak-anak di mana pun cenderung menyukai dongeng atau kisah klasik berupa cerita fabel (dunia hewan) dan sebagainya. Jika saja mereka memahami dongeng atau kisah klasik yang terdapat di relief-relief batu candi, ada kemungkinan cara bermain mereka berbeda dengan tampak sekarang. Mereka selama ini hanya menaiki tumpukan-tumpukan batu candi itu, yang sebenarnya dapat mengakibatkan kerusakan candi. Dan, sama sekali tidak menghiraukan relief-relief yang ada di seputar dinding candi. Ada lima cerita klasik dari relief-relief dinding candi tersebut. Pada kaki candi terdapat relief yang mengisahkan cerita Kunjarakarna dan Pancatantra. Cerita Kunjarakarna bertutur tentang seorang tokoh raksasa bernama Kunjarakarna yang taat beribadah menyembah Sang Buddha. Suatu saat, Kunjarakarna ditunjukkan para dewa keadaan mengerikan di neraka, tempat bagi orang-orang yang berdosa dan tidak taat pada ajaran Buddha. Kunjarakarna memiliki teman bernama Purnawijaya. Purnawijaya ini telah masuk neraka, dan Kunjarakarna menyampaikan niatnya kepada para dewa untuk menyelamatkan temannya itu. Berkat kebaikan hati dan ketaatan Kunjarakarna pada Sang Buddha, niat menolong Purnawijaya itu dikabulkan para dewa. Kisah ini sangat mengesankan, yaitu kisah yang mengajarkan ketaatan pada sebuah nilai kebaikan (ajaran Sang Buddha). Ketika harus menjumpai orang berdosa atau bersalah, bukanlah tindakan mencemooh yang dilakukan, tetapi berusaha menyelamatkan. Cerita Pancatantra masih pada kaki Candi Jago ingin menguatkan kesan keutamaan sikap kebaikan, seperti cerita Kunjarakarna. Namun, Pancatantra merupakan cerita klasik fabel, yang mengisahkan seekor kerbau menolong seekor buaya yang tertindih pohon tumbang. Kerbau tak tega menyaksikan penderitaan buaya yang tertindih pohon. Lalu, kerbau menolong buaya. Akan tetapi, setelah ditolong, buaya malah ingin memangsa kerbau. Sekuat tenaga sang kerbau menanduk buaya hingga ke daratan. Lalu, penduduk di sekitarnya secara beramai-ramai datang dan membunuh buaya yang tak tahu membalas kebaikan tersebut. Relief dinding tingkat kedua mengisahkan cerita Parthayajna dan Arjunawiwaha. Kisah tersebut berkesinambungan, yaitu mengisahkan tokoh-tokoh Pandawa yang dibuang ke 45 hutan selama 12 tahun. Pembuangan itu akibat kekalahan Pandawa bermain dadu dengan Kurawa. Pandawa yang diusir dari istana itu mengembara di hutan. Salah satu tokoh Pandawa, Arjuna, melakukan tapa brata. Pada saat tapa brata itu, Arjuna memperoleh senjata yang tak terkalahkan dari Dewa Siwa. Pada saat tiba Perang Bharatayudha antara Pandawa dengan Kurawa, berkat senjata itulah Pandawa menjadi pemenang. Cerita klasik ini setidaknya mengisahkan hal keinginan untuk memperoleh keutamaan atau kemenangan selalu dibebani banyak rintangan dan cobaan. Tokoh-tokoh Pandawa sebelum memenangkan Bharatayudha mengalami hal serupa, yaitu terusir dari istana dan hidup terlunta-lunta di tengah hutan. Relief dinding tingkat ketiga Candi Jago mengisahkan cerita Kresnayana dengan tokoh Kresna pada masa muda. Ia juga tokoh utama di samping Pandawa di dalam Cerita Mahabharata dari India. Kresna muda itu selalu nakal. Dan, karena kenakalannya ia dikejar-kejar oleh raksasa bernama Kalayawana. Kresna lalu berlindung kepada pendeta sakti Resi Mucukunda. Kalayawana terus mengejar Kresna. Karena tak tahu sopan santun di hadapan Resi Mucukunda, akhirnya Kalayawana mati terbakar api yang keluar dari jari Sang Resi. Semua kisah cerita klasik di tiga lapis dinding Candi Jago ini memang sulit dipahami ketika melihat relief-relief yang masih ada sekarang. Butuh perjuangan keras untuk berimajinasi menyesuaikan alur cerita masing-masing. Namun, dongeng di balik cerita yang terpahat pada dinding-dinding batu itu kini masih terselamatkan. Di samping, dengan kondisi kesenjangan dunia pendidikan sekarang, selamanya bagi anak-anak bangsa, dongeng itu akan tetap bisu sehingga tak berarti apa-apa. (NAWA TUNGGAL) 46 LAMPIRAN B Kompas- “De-Jawanisasi” Kamis, 22 Juli 1999 Bagian Pertama dari Dua Tulisan ''De-Jawanisasi'' Politik Indonesia Oleh Sindhunata Tanggal 28 Desember 1930 - 2 Januari 1931 diadakan Kongres ''Indonesia Moeda'' yang pertama di Solo. Dalam kongres tersebut terjadi perdebatan di sekitar soal peradaban dan kebudayaan Indonesia. Sementara peserta berpendapat, peradaban Indonesia sejauh dimengerti sebagai ''kesatuan kultural'' tidak pernah ada. Mr RT Wongsonagoro Djaksodipoero dari Jong Java membantah pendapat tersebut. Pada hematnya, Indonesia dapat membentuk kesatuan kebudayaan, betapa pun ada perbedaan-perbedaan di dalamnya. Ia juga mengemukakan, nasionalisme Indonesia bukanlah tujuan akhir dari suatu proses evolusi, nasionalisme adalah sarana untuk sampai pada tujuan akhir yang sejati, yakni kemanusiaan sendiri. (J Th Petrus Blumberger 1987). Sayang, cita-cita di atas belum pernah tercapai dalam sejarah Indonesia. Bung Karno malah memelesetkan nasionalisme menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Nasionalisme menjadi proyek kebanggaan politik semata-mata. Ketika ia harus memeras Pancasila menjadi satu-satunya sila, bukan kemanusiaan yang disarikannya melainkan gotong royong. Kemanusiaan itu universal, gotong royong itu Jawa. Epistemologi Bung Karno sangatlah Jawa, demikian pula tak kalah Jawanya adalah penerusnya, Soeharto. Kejawaan memang telah mendominasi politik Indo-nesia lebih dari lima puluh tahun lamanya. Sekarang dominasi itu mulai digugat. Orang Jawa dikesankan imperialis dan intervensionis. Politik Orde Baru adalah politik Jawa, yang tertutup dan sentralistik. Jawanisasi kehidupan politik itu kelihatan memendam bom waktu. Kini mulai muncul gejala anti Jawa. Celakanya, gejala ini muncul berbarengan dengan bahaya perpecahan di tingkat elite, sehingga tak mustahil sekelompok elite politik memanfaatkan sentimen anti-Jawa untuk manuver politiknya. Bagaimana gejala di atas mesti dicermati? Tulisan singkat berikut ini tak bermaksud mengadakan analisis contoh-contoh peristiwa. Tulisan ini mencoba memahami tuduhan dan prasangka negatif terhadap kejawaan, sejauh menyangkut kekuasaan dan kehidupan sosial, lalu memeriksanya, apakah paham dan kebudayaan Jawa sendiri memang potensial untuk menyebabkan prasangka-prasangka itu. Pengagung-agungan kekuasaan Untuk mengetahui konsep kekuasaan Jawa, perlu diteliti, filsafat sejarah apa yang mendasari penulisan-penulisan historiografi Jawa. Studi C Berg pernah menarik suatu kesimpulan keras, bahwa penulisan sejarah Jawa itu tidak didasarkan pada realitas sejarah sendiri, melainkan pada pola-pola mitos. Akibatnya, faktisitas sejarah sulit dicek kebenarannya. Lebih tepat adalah bertanya, bagaimana genesis dari delusi dalam historiografi Jawa. 47 Contoh yang dikemukakan Berg adalah penulisan tentang Ken Angrok, sebagai leluhur Wisnuwardhana dalam buku Nagarakrtagama. Ken Angrok atau Ranggah Rajasa adalah raja Singosari, yang diperkirakan memerintah dari tahun 1222-1227, disusul anaknya Anusanatha atau Nusapati pada tahun 1227-1248. Anehnya, kedua nama ini tidak pernah tersebut dalam prasasti-prasasti. Menurut prasasti-prasasti, raja pertama Singosari adalah Jayawisnuwardhana, yang baik dalam Pararaton mau pun dalam Nagarakrtagama, disebutkan sebagai cucu Angrok atau Rajasa. Toh Prapanca, pengarang Nagarakrtagama itu, memasukkan Ken Angrok dalam penuturan sejarahnya. Menurut Berg, asal usul Angrok, yang sulit dibuktikan dari kenyataan itu, berkaitan dengan mitos Mpu Sindok, yang dianggap leluhur Erlangga. Dengan demikian Angrok mempunyai legitimasi mitis. Angrok sendiri dianggap sebagai titisan Batara Guru, yang mempunyai dua istri, Uma dan Durga. Dengan meletakkan Wisnuwardhana dalam deretan leluhur yang punya keilahian ini, maka Prapan-ca juga memberi Wisnuwardhana watak keilahiannya. Cara penulisan sejarah adalah khas Jawa. Historiografi gaya Prapanca itu dengan mudah dapat dijumpai dalam komposisi Babad Tanah Jawi. Jelas sejarah Mataram pun mengikuti pola historiografi itu. Genealogi Sultan Agung dibuat sedemikian rupa, sampai ia dapat dikembalikan kepada Nabi Adam. Penulis Babad ingin memberi legitimasi mitis bagi Sultan Agung dengan cara seperti Prapanca itu. Maka diciptakanlah Senapati sebagai kakek leluhur Sultan Agung, seperti Angrok adalah kakek dari Wisnuwardhana. Konsep pembesaran mitis macam itu juga dikenakan geografi kerajaan Majapahit. Secara aktual, Majapahit mungkin hanya meliputi Jawa, Bali dan Madura. Tetapi di samping itu ada the empire of the myth of Great Majapahit. Sulitlah kita membuktikan adanya ''kewilayahan politik'' kerajaan Majapahit. Yang ada adalah pembesar-besaran wilayah mitis. Yang terakhir ini tak menarik untuk studi sejarah empiris dalam arti sempit, tetapi merupakan bahan yang sangat menarik bagi studi sejarah kultural, khususnya untuk mengamati konsep kekuasaan Jawa sendiri. Konsep historiografi macam ini mirip dengan konsep filsafat sejarah Yunani di zaman Herodotus (484-420) dan Thukydides (465-395). Kendati sudah mengupayakan suatu ''sekularisasi sejarah'', konsep sejarah Herodotus dan Thukydides masihlah menganut motif sejarah mitologis, yakni motif ''mengenangkan'' dan ''mengagungkan''. Dengan motif itu, manusia yang fana ditinggikan sedemikian rupa, sehingga melebihi kemanusiaannya. Motif mengenang dan mengagungkan itu jelas-jelas juga menjadi motif penulisan sejarah Jawa, dari periode Jawa Kuno sampai penulisan model babad di zaman Mataram. Pemberian watak dan kualitas mitologis pada tokoh-tokoh sejarah, seperti Jayabaya dan Wisnuwardhana, atau Senapati dan Sultan Agung bertujuan semata-mata untuk memberi keagungan dan kebesaran pada tokoh-tokoh itu serta tindakannya. Nasionalisme mitis Konsep penulisan sejarah macam itu berlanjut sampai ke zaman Indonesia modern ini. Contoh menarik adalah penulisan sejarah Prof H Muhammad Yamin, misalnya ''Gajah Mada, Tokoh Persatuan Nusantara'' (1945) dan ''6000 tahun Sang Merah Putih'' (1958). Dalam rangka memperingati 30 tahun Sumpah Pemuda, Yamin menguraikan bahwa Sang Merah Putih itu sudah ada sejak zaman prasejarah, merah putih ada dalam kakawin-kakawin dan kidung-kidung. Jauh sebelum Negara Indonesia diproklamirkan, merah putih telah menjadi warna, umbul-umbul atau piagam dalam kerajaan-kerajaan Singosari, Majapahit, dan Mataram. Indonesia sendiri adalah Nusa Emas dan Perak, yang identik dengan Kepulauan Merah-Putih, seperti dituturkan dalam syair Ramayana karangan pujangga Walmiki. 48 Dalam perjuangan kemerdekaan, Soekarno sendiri dengan gigih hendak mengembalikan zaman keemasan Majapahit ke zaman sekarang. Dalam de propaganda-vergadering PNI di Batavia, Soekarno menegaskan, tidaklah benar, bahwa kedatangan orang-orang Eropa telah memperbaiki peradaban dan ekonomi Indonesia. Jauh sebelum kedatangan orang Eropa, Indonesia di zaman Majapahit telah menapaki tangga peradaban yang tinggi. Soekarno memang sangat obsesif akan zaman keemasan Majapahit. Sementara, seperti pernah dikatakan sejarawan babad Peter Carey pada penulis, Soeharto sangat obsesif pada kekuatan dan kegagahan Mataram, lebih-lebih zaman Sultan Agung dengan konsolidasi tentaranya. Terjadi siklus mitis baru, seperti Wisnuwardhana mengkaitkan diri dengan Angrok yang punya kekuatan mitis Mpu Sindok, Soekarno mengkaitkan diri dan visinya dengan zaman keemasan Majapahit. Dan seperti Sultan Agung mengaitkan diri dengan Senapati, Soeharto mengaitkan dirinya dengan zaman kegagahan Mataram. Motif penulisan sejarah yang menjurus mitologis itu secara mencolok hidup kembali dalam historiografi peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Sekarang mulai muncul keraguan banyak sejarawan tentang kebenaran historigrafi itu. Banyak diskusi-diskusi menunjukkan, bahwa historiografi Serangan Umum 1 Maret bersumberkan pada subyektivitas Orde Baru untuk mengetengahkan kehebatan Soeharto secara berlebih-lebihan. Pengagung-agungan tokoh Soeharto hampir meniadakan peran tokoh-tokoh lainnya. Ini menunjukkan, bahwa sejarah telah ditempatkan di bawah bayang-bayang kekuasaan Soeharto. Bagaimana sejarah dapat dimitologisasikan sebegitu jauh? Alasan represi Orde Baru kiranya tidak memadai untuk menjawab pertanyaan itu. Mentalitas historiografi kitalah yang membuat kita tidak kritis terhadap historiografi yang manipulatif itu. Banyak hal perlu dikaji ulang, jika kita hendak mendudukkan kebenaran empiris dalam penulisan dan pemahaman sejarah kita, termasuk di dalamnya adalah konsep nasionalisme. Apakah nasionalisme kita bukan suatu mistifikasi, akibat pengagungagungan peristiwa masa lampau yang kebenarannya sulit dibuktikan? Apakah nasionalisme kita kuat atau rapuh terletak pada jawaban atas pertanyaan itu. Jelas, nasionalisme akan sangat rapuh, jika ia hanyalah hasil mistifikasi sejarah. Menurut sejarawan terkenal dunia, Eric J Hobsbawn, nasionalisme adalah pengertian yang sama sekali baru dalam sejarah dunia. Sebagai program bernegara, nasionalisme itu tak pernah terjadi sebelum abad ke sembilan belas. Pada zaman sebelum abad sembilan belas itu, tidaklah realistis membentuk suatu negara nasional yang homogen. Karena itu adalah suatu keajaiban sejarah, bahwa Indonesia dengan keragaman yang luar biasa ini dapat menjadi sebuah negara nasional. Namun keajaiban itu akan buyar bagaikan mimpi, jika nasionalisme hanya kita pertahankan dengan mitos-mitos lama, yang secara historis tak pernah ada. Nasionalisme itu harus kita kerjakan, dan mengingat nasionalisme berada di tanah yang demikian pluralistis, maka tak ada lain untuk mengerjakannya kecuali lewat demokrasi. Upaya ini pun harus diberi orientasi baru, yakni bahwa nasionalisme bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, melainkan sarana untuk mencapai kemanusiaan bagi setiap warga negara. Negara kekuasaan Erat dengan konsep nasionalisme yang berbau mitis itu adalah konsep negara dalam paham Jawa. Para pakar seperti Benedict Anderson (1972), Soemarsaid Moertono (1968), dan Clifford Geertz (1980) sepakat, bahwa dalam paham Jawa, negara tidak ditentukan oleh perimeternya tetapi oleh pusatnya. Wilayah dikontrol oleh pusat. Kekuasaan pusat mengalir dalam gelombang fluidum ke periferi. Makin kekuasaan pusat itu sakti dan berkarisma, makin ia bisa menguasai wilayahnya. Negara yang kuat, adalah 49 negara yang padang obore, artinya kekuasaan di pusat memancarkan sinarnya sampai jauh ke luar. Dalam konsep negara demikian, kesatuan tidak pertama-tama dimengerti sebagai kesatuan wilayah politis, tetapi sebagai pancaran kesaktian dari penguasa di pusat. Maka penguasa sangat berkepentingan untuk mempersatukan negara, hanya dengan demikian ia tidak kehilangan kesaktiannya dan dapat menunjukkan dirinya sakti. Menurut Anderson, paham kekuasaan Jawa sangat gandrung dengan kesatuan itu. Karena itu, perlawanan terhadap Republik Indonesia Serikat (1949-1950), bukanlah semata-mata kecurigaan, bahwa negara-negara diperalat oleh Belanda untuk dijadikan boneka-bonekanya, melainkan karena perasaan, bahwa bersatu itu sakti, dan bermacam-macam berarti perpecahan dan kelemahan. Soekarno sendiri di satu pihak selalu khawatir akan banyaknya partai. Di lain pihak, ia mau merangkul semua partai. Akhirnya ia sendiri kehilangan kesabaran dengan segala proses demokratis lewat partaipartai setelah Pemilu 1955. Ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Kesatuan yang mitis dan sakti itu dimasukkan ke dalam konsep demokrasi. Campuran ini dianggap sah, karena kemanunggalan lebih penting daripada demokrasi. Rezim Soeharto sama saja. Konsep yang melatarbelakangi Demokrasi Pancasila tak ubahnya dengan konsep yang melatarbelakangi Demokrasi Terpimpin. Kesatuan Nasional itu suci, tak boleh diganggugat. Maka Pancasila pun harus ditafsirkan secara tunggal. Dan untuk memelihara kesatuan diciptakan kategori-kategori yang mirip kategori-kategori ritual-religius, yakni SARA. Siapa melanggar SARA, ia tidak hanya bersalah tetapi berdosa. SARA menjadi institusi yang demikian otonom dan otoriter, karena SARA adalah hamba bagi kesatuan yang suci dan sakti. Orba juga menciptakan birokrasi penjamin kesatuan itu, yakni Golkar. Kesatuan mitis yang kejawen itu pula yang kiranya mendasari staatside integralistik, yang dikemukakan Prof Dr Soepomo. Itu sangat jelas terbaca dalam kata-kata Soepomo pada sidang BPUPKI, 31 Mei 1945: ... Semangat kebatinan, struktur kerohanian dari bangsa Indonesia bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti, yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya. Segala manusia sebagai seseorang, golongan manusia dalam sesuatu masyarakat dan golongan-golongan lain dari masyarakat itu dan tiap-tiap masyarakat dalam pergaulan hidup di dunia seluruhnya dianggapnya mempunyai tempat dan kewajiban hidup (dharma) sendiri-sendiri menurut kodrat alam dan segala-galanya ditujukan kepada keseimbangan lahir batin. Manusia sebagai seseorang tidak terpisah dari seseorang lain atau dari dunia luar, golongangolongan manusia, malah segala golongan makhluk, segala sesuatu bercampur baur, bersangkut paut, segala sesuatu berpengaruh-pengaruhi dan kehidupan mereka bersangkut paut. Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia ... (Kutipan Soepomo, dlm Adnan Buyung Nasution, 1999, 69-70). Adnan Buyung Nasution menyebutkan, konsep negara integral itulah sumber dari totaliterisme dalam UUD '45, yang kemudian memberi perspektif totaliter pula bagi kekuasaan presiden. Nasution menunjukkan, betapa kelompok Jawa sangat dominan dalam proses penyusunan UUD '45. Soepomo sen-diri adalah Ketua Panitia Kecil Perancang UUD. Anggotanya antara lain adalah Prof Achmad Soebardjo. Sementara di BPUPKI duduk banyak priyayi Jawa, seperti KRT Radjiman Wediodiningrat, RP Soeroso, KRMT Wongsonegoro, R Soekardjo, R Sastromoeljo, KRM Sosrodi-ningrat. Mereka semua adalah pendukung Soepomo. UUD '45 kita sebenarnya sangatlah njawani, khususnya dalam hal memberi kekuasaan yang demikian besar pada presiden. Presiden kita bagaikan raja Jawa, yang sakti, memancarkan kekuasaan dari pusat, dan kekuasaan itu harus meliputi seluruh wilayah Nusantara. 50 LAMPIRAN C Kompas- Padepokan Seni Mangun Dharma Selasa, 07 Januari 2003 Penasaran pada Tari Topeng Malang DATANG jauh dari Wisconsin, Amerika Serikat (AS), kemudian menetap dan bersuamikan seniman Malang, Karen Elizabeth Schrieber (38) mengaku, sambil mendalami berbagai jenis kesenian tradisional lain di Malang, sampai sekarang ia masih mencari jawaban mengapa masyarakat Malang tidak menyukai tarian topeng malang yang justru ia kagumi. Dilahirkan pada tanggal 19 Desember 1964 di Wisconsin, Karen pernah tinggal di Yogyakarta pada tahun 1969 karena mengikuti kedua orangtuanya, David Schrieber, yang mengajar mata kuliah ekonomi dan bisnis di Universitas Gadjah Mada. Di Yogyakarta, keluarga Schrieber sempat tiga kali bulan purnama menikmati sendratari Ramayana di pelataran terbuka Candi Prambanan. Awal mula itu yang melahirkan hasrat Karen terhadap seni tradisional Jawa, khususnya tari. "Saya paling suka tarian Hanoman yang sigrak (bersemangat)," kata bungsu dari dua bersaudara yang fasih berbahasa Jawa. Ayah-ibunya, David dan Janet Schrieber, keturunan Jerman-Swiss yang kemudian menetap dan berkebangsaan Amerika. Kakaknya, Peggy Schrieber, saat ini menetap di Colorado, Denver, AS, menjalani profesi sebagai dokter bedah. Saat itu Karen langsung meminta belajar menari, tetapi oleh guru tarinya tidak boleh menarikan Hanoman. Ia hanya dibolehkan belajar untuk peran Trijata. Tokoh ini yang senantiasa menemani Shinta, tatkala dalam penyekapan oleh Raja Rahwana di Alengka. Orangtua Karen memberi kebebasan dan mendorong sepenuh hati pilihan hidup anakanaknya. "Orangtua saya di Wisconsin sampai kini masih terheran-heran melihat yang saya kerjakan, misalnya sebagai pesinden di Malang," katanya. Karen sangat menyukai tokoh Hanoman, karena tokoh ini menyiratkan nilai kepahlawanan sewaktu menyelamatkan Shinta. Gerakan tariannya pun penuh semangat. Menurut Karen, karakter penuh semangat dan keras hati itu memang sesuai dengan dirinya. Dari semangat dan kekerasan hatinya itulah, ia mau menanggalkan gairah hidup kebanyakan perempuan di AS dan menjalani kehidupan di Malang sebagai seniwati tradisional. Hanya sekitar setahun ia bersama keluarganya tinggal di Yogyakarta. Kemudian ayahnya pindah tugas mengajar di Universitas Indonesia di Jakarta. Selama dua tahun di Jakarta, 1970-1971, Karen di samping meneruskan studi formalnya, juga melanjutkan belajar menari tradisional Jawa. "Di Jakarta saya diperbolehkan belajar tarian Hanoman. Tetapi, saya lupa nama guru yang mengajari," ujar Karen mengenang. Selepas tinggal di Yogyakarta dan Jakarta, Karen kembali ke tanah kelahirannya di Wisconsin dan melanjutkan studi formalnya hingga lulus dari Universitas Wisconsin jurusan sastra Inggris. Selama di universitas, ia selalu menyempatkan diri belajar kebudayaan dari negara-negara di Asia Tenggara. Ia pun pernah mengambil salah satu mata kuliah gamelan Jawa. Setelah lulus dari Universitas Wisconsin, dengan beasiswa Karen melanjutkan studi ke Universitas Virginia di jurusan antropologi. Inilah yang mengantar dia kembali ke Indonesia, khususnya ke Malang. PADA tahun 1990 dia mengikuti program beasiswa untuk penelitian antropologi di Indonesia. Dia belajar bahasa Indonesia-nya di IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang). Dua bulan belajar bahasa, dia pernah diajak ke lokasi kegiatan seni 51 tradisi di Malang, antara lain Padepokan Seni Mangun Dharma, Tumpang. Di padepokan itu, ia dipertontonkan seni wayang topeng khas Malang. Seketika itu Karen minta diajari tarian wayang topeng, yang menurut dia bersemangat. Ia lalu berguru kepada pemilik Padepokan Mangun Dharma, Mohammad Soleh Adi Pramono. Keduanya menikah tahun 1992, dan perkawinan ini dianugerahi dua putri yaitu Sonya (9) dan Kyan Daru (5). Untuk memenuhi kewajiban penyusunan tesis antropologi program magister Universitas Virginia, Karen akhirnya meneliti wayang topeng dan membandingkannya dengan seni jaran kepang. "Proses ingin meneliti dan belajar terhadap bentuk dua kesenian ini sama. Saya melihat, wayang topeng yang kurang diminati sementara jaran kepang banyak diminati masyarakat," kata Karen. Di mata Karen, seni tari wayang topeng maupun kisah-kisah lakonnya sangat menarik dan mudah dipahami. Dari sifat dasarnya yang keras dan penuh semangat, Karen tak berhenti mengembangkan kemampuan menguasai tarian wayang topeng dan sering mementaskan kemampuan itu dalam berbagai acara, khususnya di Malang dan sekitarnya. Dari sinilah mengalir berbagai proses unik dari perjalanan profesi sebagai penari wayang topeng malangan. Dari sekian banyak pentas yang ia lakukan, seringkali penonton tarian wayang topengnya tak puas sebab penonton tak bisa melihat wajah asli Karen. Demi memenuhi keinginan penonton itulah dia berinisiatif ingin menguasai seni tradisi malangan lainnya yang tidak mengenakan topeng. Dan, pilihan Karen jatuh pada remo atau menembang yang akhirnya menuju pada kemampuannya berkidung. HARI demi hari ia lalui. Kemampuan Karen mengidungkan lagu-lagu Jawa membuat dia kini lebih banyak menjadi pesinden mengiringi pergelaran wayang kulit. "Saya pernah menjadi pesinden untuk dalang Anom Suroto, Manteb Sudarsono, Joko Edan, Ki Purbo, Ki Naryo, dan sebagainya. Sampai sekarang saya lebih banyak menjalankan profesi itu," kata Karen. Sudah tiga kali dia pentas di Jakarta; menyinden dalam pementasan wayang kulit dengan dalang mantan Wali Kota Malang, Soesamto, di Taman Mini Indonesia Indah; tampil bersama dalang Romo Yustinus yang kini berada di Banyuwangi, Jawa Timur; dan diajak bermain ketoprak kelompok Siswo Budoyo dari Tulungagung. Dalam berbagai festival tari di Yogyakarta dan Surakarta, Karen senantiasa hadir membawakan tari wayang topeng yang khas Malang ini. Udara sejuk daerah Tumpang senantiasa menyelimuti Padepokan Mangun Dharma yang terletak sekitar 30 kilometer arah timur Kota Malang. Di Padepokan Mangun Dharma itulah Karen yang menjalani hidup sangat sederhana itu akhirnya lebih sering menggunakan nama Elizabeth Sekar Arum, pemberian seorang seniman Malang, dan senantiasa berkiprah dalam berbagai pementasan seni tradisi malangan. Hingga kini tak pernah ada sedikit pun niat Karen untuk tampil di arena internasional. Alasan dia, karena seni tradisi malangan, terutama tarian wayang topeng, sampai sekarang juga belum diminati masyarakatnya sendiri. (Nawa Tunggal) 52 LAMPIRAN D Kompas- Padepokan Seni Mangun Dharma Senin, 31 Maret 2003 Intrik Berdarah Tak Jemu-jemu ADA temuan mutakhir berupa delapan lempeng tembaga Prasasti Sapi Kerep (berangka tahun 1275 Masehi) di sebuah sawah milik seorang petani di Desa Sapi Kerep, Kecamatan Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur (Jatim), pada Februari-Maret 2001. PADA Mei tahun yang sama, dari lapak penjual barang loak di Kediri, Jatim, ditemukan pula tiga lempeng kelanjutan Prasasti Mula Malurung (berangka tahun 1255 Masehi). Sebelumnya pada tahun 1975 di daerah yang sama juga ditemukan 10 lempeng prasasti serupa. Kebanaran sejarah ternyata bersifat hipotetik. Sejarah dapat diperbarui atau direvisi, selama kajian terhadap penemuan-penemuan arkelogis yang menunjang masih terjadi. Ternyata kajian terhadap temuan Prasasti Mula Malurung dan Sapi Kerep ini terbukti merevisi sejarah Kerajaan Singasari yang kini berkembang. Revisi yang sangat menonjol, misalnya, dari kisah menyedihkan berupa intrik berdarah untuk perebutan kekuasaan pemerintahan yang tak berkesudahan di Singasari. Melalui kajian Prasasti Mula Malurung, ternyata ditemukan kisah baru yang mampu mempertajam lagi intrik berdarah tersebut. Melalui Prasasti Mula Malurung, disebutkan ada tokoh Turuk Bali, sebagai kerabat atau saudara sepupu perempuan Raja Kertanegara (1268-1292 Masehi). Turuk Bali ini kemudian menjadi istri Raja Jayakatwang yang memerintah wilayah kekuasaan Gelanggelang. Wilayah Gelang-gelang ini berada di wilayah Kediri. Jayakatwang yang memimpinnya, kemudian bisa diartikan sebagai ipar Kertanegara. Namun pada tahun 1292 Masehi, Jayakatwang ini menyerang Kertanegara dan berhasil mengalahkannya. Mengawini sepupu Kertanegara, Turuk Bali ini, ternyata bisa dikatakan sebagai strategi Jayakatwang untuk merebut Singasari dari tangan Kertanegara. Jayakatwang menyerang Kertanegara karena dia memiliki dendam turunan. Jayakatwang adalah keturunan dari Kerajaan Kediri yang sebelumnya ditaklukkan Ken Arok, raja Singasari yang pertama. Adanya penyebutan tokoh baru Turuk Bali yang dikawini Jayakatwang ini pada Prasasti Mula Malurung, kemudian merevisi khazanah pemahaman sejarah yang terjadi di Singasari. Terutama sejarah tragis adanya perebutan kekuasaan berdarah di Singasari. Intrik yang dipakai cenderung selalu melibatkan salah satu kerabat istana, yaitu setelah Jayakatwang mengawini Turuk Bali dan menjadi bukan orang luar lagi bagi Kerajaan Singasari. Kisah baru yang menarik dari hasil kajian Prasasti Mula Malurung yang kini disimpan di Museum Nasional Jakarta ini dituturkan Prof Dr Moehammad Habib Mustopo di Malang. Habib menjadi Ketua Ikatan Ahli Epigrafi Indonesia (IAEI) Komisariat Daerah Jatim dan guru besar sejarah di Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (UM). "Begitu hebatnya intrik perebutan kekuasaan berdarah di Singasari. Intrik selalu datang dari dalam kerabat lingkungan istana sendiri dan kisah masa lalu ini bisa ditarik manfaatnya untuk masa sekarang," kata Habib. Intrik perebutan kekuasan berdarah di Singasari bisa dirinci, berawal dari Raja Singasari pertama Ken Arok, yang dibunuh seorang pengalasan atau prajurit atas insiatif Anusapati. Anusapati menjadi anak sah Ken Arok dengan Ken Dedes. 53 Namun, Anusapati merasa yakin sebagai anak biologis antara Ken Dedes dengan Akuwu Tumapel Tunggul Ametung yang sebelumnya dibunuh Ken Arok. Sebab, ketika Ken Arok mengawini Ken Dedes, Ken Dedes sebelumnya sudah mengandung anak Tunggul Ametung. Anusapati kemudian dibunuh Tohjaya, anak Ken Arok dengan Ken Umang. Tohjaya kemudian berhasil dibunuh pula oleh Wisnuwardhana, anak dari Anusapati. Wisnuwardhana ini kemudian memimpin Singasari mulai tahun 1227 hingga 1268 dengan aman. Singasari lalu dipimpin anak Wisnuwardhana bernama Kertanegara (1268-1292). Ternyata terulang kembali intrik perebutan kekuasaan berdarah oleh Jayakatwang yang telah menjadi orang dalam istana Kertanegara. Selama ini Jayakatwang dikenalkan sebagai tokoh di luar keluarga istana Singasari. Prasasti Mula Malurung menyibak tabir yang berbeda, seperti diutarakan Habib, Jayakatwang itu adalah ipar dari Raja Kertanegara yang supertangguh. Buktinya ia mampu mengirim prajurit dalam Ekspedisi Pamalayu (1275) ke Melayu (Sumatera). Tujuannya menggalang persekutuan raja-raja di Pulau Jawa dan Sumatera untuk mengantisipasi serangan ekspansif Khubilai Khan dari Cina. KEKUASAAN yang diperoleh dengan pertumpahan darah tidak akan mudah untuk dipertahankan. Dendam untuk memperoleh kekuasaan kembali oleh pihak terkalahkan tak mudah dipadamkan. Ini makna masa lalu yang dapat ditarik untuk masa sekarang. "Belajar sejarah masa lalu, bukan tidak ada gunanya. Maknanya bisa ditarik untuk masa sekarang," kata Habib. Kemudian dari Prasasti Sapi Kerep yang kini berada di Museum Mpu Tantular Surabaya, menurut Habib, ada revisi lagi tentang sejarah Singasari. Di dalam prasasti ini disebutkan adanya pembangunan Sri Rameswarapura di masa Raja Kertanegara, yang dianggap bangunan itu untuk penghormatan Wisnuwardhana. Ini merevisi sejarah yang selama ini disebutkan, bangunan pendharmaan Wisnuwardhana hanya ada dua, yaitu Candi Jago di Malang dan Candi Weleri di Blitar, Jatim. Prasasti Sapi Kerep kembali merevisi adanya bangunan pendharmaan Wisnuwardhana sudah bukan dua lagi, melainkan ada tiga. Sebab, sudah harus ditambahkan lagi bangunan Sri Rameswarapura. Habib mengatakan, besar kemungkinan Sri Rameswarapura masih berada di dekat penemuan Prasasti Sapi Kerep di Sukapura yang masuk kawasan Gunung Bromo- Tengger ini. Ada kesesuaian istilah pura yang melekat antara kata Sri Rameswarapura dan Sukapura. Dari Prasasti Sapi Kerep masih disebutkan lagi adanya pembagian tanah oleh Raja Kertanegara kepada para pejabat tinggi yang pernah berjasa bagi Kerajaan Singasari. Pembagian luas tanah itu disesuaikan dengan tingkat jabatan masing-masing. Nama-nama pejabat pada waktu itu unik pula, yaitu dengan menggunakan istilah-istilah untuk sebutan hewan, seperti kerbau, lembu, gajah, atau harimau. Prasasti Sapi Kerep menyebutkan pula, masyarakat di sekitar Sri Rameswarapura diwajibkan untuk memelihara bangunan tersebut. "Ada bagian yang justru sangat penting dari Prasasti Sapi Kerep yang saat ini belum ditemukan yaitu bagian sambandha, bagian yang menunjukkan alasan untuk apa prasasti itu dikeluarkan Raja Kertanegara dan untuk apa didirikannya Sri Rameswarapura," kata Habib. Lanjut Habib, dari delapan lempeng Prasasti Sapi Kerep yang sudah ditemukan beserta kotaknya yang masih utuh itu seharusnya memiliki kelengkapan jumlah mencapai 16 lempeng. Ada delapan lempeng lagi yang kini belum diketemukan. Istilah menarik lainnya, dari istilah Sukapura yang bisa diartikan sebagai tempat untuk bersuka. Di kawasan tersebut pernah pula diketemukan situs yang berkaitan dengan Patih Gajah Mada yang sangat terkenal itu pada masa Kerajaan Majapahit. Gajah Mada 54 pernah dianugerahi sebidang tanah di Sukapura pada usia purna tugas oleh Hayam Wuruk. "Paling tidak di kawasan Sukapura yang sekarang (masuk kawasan Bromo-Tengger) menjadi tempat yang sangat penting pada masa Singasari dan Majapahit. Ada Sukapura, Sri Rameswarapura, dan Madakaripura," kata Habib. Pembacaan sementara prasasti Sapi Kerep di lokasi penemuan, dilakukan Habib bersama Dr Machi Suhadi, seorang epigraf dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta. Menurut Habib, kisah sejarah Kerajaan Singasari yang ada di wilyah Malang, selama ini masih didasarkan pada Kitab Negarakertagama yang ditulis pada tahun 1365 Masehi dan Kitab Pararaton yang ditulis pada akhir Abad XIX. Prasasti Mula Malurung telah merevisi (melengkapi) intrik berdarah perebutan kekuasaan Singasari. Selain itu menyebutkan pula beberapa nama tokoh baru di lingkup keluarga istana Singasari. Prasasti Sapi Kerep menyebutkan kawasan penting di Sukapura. "Adanya kajian dari temuan primer berupa prasasti ini akan mengalahkan cerita sejarah Singasari dari Negarakertagama dan Pararaton. Apalagi di dalam Kitab Negarakertagama yang dibuat pada masa Raja Majapahit Hayam Wuruk itu tidak disebutkan adanya Raja Tohjaya sebagai Raja Singasari," kata Habib. Di dalam Prasasti Mula Malurung tokoh Raja Tohjaya itu disebutkan. Ini berarti Prasasti Mula Malurung berhasil merehabilitasi nama Tohjaya sebagai salah satu raja Singasari yang juga berasal dari kalangan keluarga istana pula. Tokoh-tokoh baru yang disebut di dalam Prasasti Mula Malurung, menurut Habib, yaitu Nararya Waninghyun dan Nararya Guningbhaya. Dua tokoh ini sebagai anak Ken Arok pula, selain Anusapati, Tohjaya, dan Mahisa Wong Ateleng. (NAW) 55 LAMPIRAN E Kompas- Pencurian Benda-Benda Bersejarah Kamis, 07 April 2005 Pencurian Benda-benda Cagar Budaya Masih Terus Terjadi Jakarta, Kompas - Pencurian benda cagar budaya terus terjadi, terutama di situs-situs cagar budaya terbuka seperti di kawasan candi. Terdapat ratusan benda cagar budaya yang telah dicuri. Lebih mengenaskan lagi, hanya segelintir dari kasus itu yang terungkap atau pelakunya diadili. Terakhir, pada akhir 2004, kembali dilaporkan terjadi pencurian arca Bhairawa di situs Candi Jago, Malang. Hilangnya kasus benda cagar budaya tersebut setidaknya tergambar dari data di enam Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, yakni di Batu Sangkar, Jambi, Trowulan, DI Yogyakarta, Prambanan, dan Makassar. Data itu dikumpulkan oleh Kantor Asisten Deputi Kepurbakalaan dan Permuseuman, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam rentang waktu 12 tahun, 1990-2002, setidaknya terjadi 130 kasus pencurian benda cagar budaya. Akibatnya, sekitar 370 benda cagar budaya dilaporkan hilang. Dari keseluruhan kasus tersebut, yang terungkap hanya sekitar 20 kasus. Padahal, di tahun 2003 kembali dilaporkan terjadi tujuh kasus pencurian benda-benda cagar budaya. Pencurian terutama marak terjadi tahun 1999 ketika krisis dan tekanan ekonomi sedemikian hebatnya. Kondisi keamanan situs memang memprihatinkan karena tidak semua situs dipagari atau mendapatkan pengamanan ketat. Selain pencurian, kasus yang memprihatinkan ialah perusakan benda cagar budaya seperti yang terjadi di Borobudur. Dalam kurun 1990-2002 saja, Balai Studi dan Konservasi Borobudur mencatat terjadi 72 kasus vandalisme atau perusakan cagar budaya, yang umumnya berupa aksi mencoret-coret. Belum lagi aksi penggalian liar dan perombakan bangunan cagar budaya. Kasus-kasus tersebut setidaknya menggambarkan rendahnya perlindungan terhadap aset bangsa tersebut. Asisten Deputi Urusan Kepurbakalaan dan Permuseuman Soeroso MP mengungkapkan, memang tidak mudah melindungi benda dan situs cagar budaya yang jumlahnya sangat banyak. Akhirnya, kembali perlindungan terbesar datang dari masyarakat. Dijual ke luar negeri Secara terpisah, Rini S selaku Kepala Subbidang Pengamanan dan Penyelamatan di Deputi Sejarah dan Purbakala mengakui, sangat terbuka kemungkinan benda-benda cagar budaya dari Indonesia itu "lari" ke luar negeri. Sepanjang tahun 2004 saja tercatat 24 benda cagar budaya yang akan diterbangkan ke luar negeri, namun berhasil ditahan Bea dan Cukai Kantor Pelayanan Tipe A Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Benda-benda itu ditemukan bersama 156 benda budaya lainnya. Selain itu, kata Rini, dari September 2004 sampai Februari 2005 terjadi lagi setidaknya 19 kasus. Selain Bandara Soekarno-Hatta, pintu rawan lainnya ialah melalui Bandara Ngurah Rai di Denpasar, Bali, dan Balikpapan, Kalimantan Timur. "Terkadang benda-benda itu disamarkan sebagai suvenir. Bahkan, mulai muncul tren pengiriman benda cagar budaya melalui paket," katanya. Dia mengakui memang sulit mendeteksi arus lalu lintas benda cagar budaya. Pengawasan sangat terbatas karena tidak semua petugas di bandara mempunyai kemampuan membedakan benda cagar budaya dengan yang tidak. Sejauh ini, yang dilakukan ialah menjalin kerja sama dengan petugas-terutama dengan pihak Bandara Soekarno-Hatta-agar jika ada benda yang dicurigai, termasuk cagar budaya, segera dilaporkan untuk diperiksa oleh ahlinya. "Namun, untuk di daerah terdapat kendala lagi, yakni minimnya ketersediaan tenaga ahli," ujarnya. (INE) 56 LAMPIRAN F Kompas- Pencurian Benda-benda Bersejarah Senin, 09 Februari 2004 "Nagarakretagama" Karya Jurnalistik Pertama Indonesia Oleh Djulianto Susantio SALAH satu naskah kuno yang paling banyak ditelaah para pakar adalah kakawin Nagarakretagama. Kitab ini merupakan karya Mpu Prapanca dari Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin Nagarakretagama menguraikan Kerajaan Majapahit dengan segala isinya secara panjang lebar. Sejauh ini Nagarakretagama merupakan sumber sejarah terlengkap yang memberi sejumlah keterangan langsung mengenai masyarakat Jawa kuno saat itu. INFORMASI seperti ini tidak pernah dijumpai pada naskah- naskah kuno lain. Keterangan langsung yang diberikan Prapanca, menurut kaidah jurnalistik, dapat disamakan dengan apa yang pada masa kini disebut berita. Nagarakretagama bukan sekadar karya biasa. Keluarbiasaan Nagarakretagama terletak pada isi yang berupa laporan nyata tentang keadaan Majapahit saat itu. Banyak pakar sependapat bahwa Nagarakretagama merupakan karya jurnalistik pertama di Indonesia. Pendapat ini disimpulkan mengingat ciri utama karya jurnalistik telah terpenuhi dalam Nagarakretagama, yakni adanya peristiwa atau fakta yang dikomunikasikan dan mampu menarik perhatian orang karena keaktualannya. Dalam mencari data Prapanca menggunakan metode pengamatan dan wawancara dengan seorang tokoh pendeta. SELAMA ini sumber tertulis yang dianggap paling dipercaya adalah prasasti. Menyusul naskah dan sumber-sumber lain, seperti berita asing. Nagarakretagama sudah teruji kebenarannya melalui perbandingan dengan sumber-sumber lain, baik tertulis maupun tidak tertulis. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Nagarakretagama sejajar dengan karya jurnalistik dan Prapanca dapat disetarakan dengan wartawan. Nagarakretagama tersusun dari puluhan pupuh (syair). Beberapa di antaranya mempunyai kesesuaian dengan beberapa sumber, seperti prasasti dan naskah lain yang sezaman. Pupuh 2, mengisahkan nenek dan ibu raja Hayam Wuruk. Dikatakan, nenek raja adalah Rajapatni yang merupakan gelar dari Gayatri. Gayatri adalah anak bungsu Kertanegara yang diperistri Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana). Keterangan serupa ternyata ada pada prasasti Sukamerta (1296 Masehi) dan Balawi (1305 Masehi). Kedua prasasti menyebutkan, Kertarajasa adalah menantu Kertanegara karena dia memperistri empat anak Kertanegara. Salah satunya bernama Dewi Gayatri. Yang amat mendukung, kisah Gayatri dapat pula diintisarikan dari kidung Harsawijaya (berisi sejarah awal Majapahit) dan Pararaton (berisi sejarah kerajaan Singasari dan Majapahit). Selanjutnya pupuh 8 Nagarakretagama menggambarkan ibu kota Majapahit sebagai berikut, "Tersebut keajaiban kota: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura...." (Slametmulyana, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 1979). Hal ini mirip penjelasan Berita Cina yang ditulis Ma-huan saat mengunjungi Majapahit. Ma-huan melaporkan adanya sebuah tempat bernama Majapahit, tempat tinggal raja yang dikelilingi tembok bata setinggi lebih dari 30 kaki dan luasnya sekitar 3-4 li. Pernyataan itu setidaknya mengandung keotentikan, sebagaimana diperlihatkan sejumlah bukti arkeologis di Trowulan. Sisa-sisa bangunan yang ada seluruhnya menggunakan bahan bata merah dan umumnya ditemukan berbentuk bangunan bertembok tebal dan tinggi. 57 PERAN Nagarakretagama sebagai sumber sejarah kuno Indonesia relatif besar meski ada yang berpendapat Nagarakretagama dipengaruhi unsur subyektif dalam rangka menyenangkan penguasa saat itu. Nagarakretagama memiliki nama lain, yakni Desawarnana atau Uraian tentang Desa-desa, seperti tercantum dalam pupuh 94. Ini karena Raja Hayam Wuruk sering turun ke bawah untuk menghormati nenek moyangnya dan masyarakatnya. Bagi arkeolog dan peneliti sejarah, fungsi Nagarakretagama amat luar biasa mengingat Nagarakretagama menuliskan daftar candi makam keluarga raja dilengkapi pemberitaan tentang tempat dan siapa yang dicandikan di situ. Nagarakretagama juga memberikan tempat-tempat yang disinggahi Hayam Wuruk saat itu, misalnya Jajaghu (Candi Jago), Jajawa (Candi Jawi), dan Madakaripura (tempat peristirahatan Gajah Mada di Probolinggo). Nagarakretagama merupakan sebuah "karya jurnalistik" terbaik, sementara Mpu Prapanca dikatakan "wartawan" tersohor dari Kerajaan Majapahit. Namun, banyak hal yang masih terabaikan hingga kini, misalnya penelitian terhadap candi-candi dan desadesa yang disebutkan dalam kitab itu. Dari segi toponimi (asal-usul tentang sebuah nama), sebenarnya banyak candi dan desa kuno masih dapat diidentifikasikan meski beberapa desa telah hilang dan sebagian lagi bergabung menjadi satu. Seyogianya penelitian tentang lokasi candi dan desa kuno itu dilakukan sesegera mungkin mengingat Nagarakretagama adalah sebuah karya besar dari sebuah kerajaan agung yang pernah ada di Nusantara. Tentu hasil yang diinformasikan dan ditinggalkan memiliki "nilai jurnalistik" yang amat tinggi. Mpu Prapanca sendiri dipandang sebagai pelopor arkeologi Indonesia dan pendahulu historic archaeology (arkeologi sejarah). Ini karena Prapanca membuat semacam inventarisasi dan deskripsi mengenai berbagai jenis peninggalan purbakala yang ada pada zamannya. Prapanca telah melakukan field survey (survei lapangan), suatu hal yang menguntungkan dunia ilmu pengetahuan. Djulianto Susantio Anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia 58 LAMPIRAN G Kompas- Arsitektur Minggu, 15 Juni 2003 Kesinambungan Arsitektur Jawa-Hindu dan Islam Oleh: Bambang Setia Budi SEBAGAI salah satu tempat awal penyebaran Islam di Pulau Jawa, Kota Kudus banyak menyimpan peninggalan sejarah Islam. Salah satu yang terpenting adalah Masjid Menara Kudus yang terletak di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Masjid tersebut telah menjadi salah satu tempat bersejarah yang penting bagi umat Islam di Jawa. MASJID yang menurut sejarah didirikan pada tahun 956 Hijriah atau 1549 Masehi ini memiliki nama asli Masjid Al-Aqsa. Konon, Ja’far Sodiq atau yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kudus pernah membawa kenangan berupa sebuah batu dari Baitul Maqdis di Palestina untuk batu pertama pendirian masjid yang diberi nama masjid Al- Aqsa. Masjid tersebut kemudian lebih populer dengan sebutan masjid Menara Kudus, merujuk pada menara candi di sisi timur bangunan utama. Yang paling monumental dari bangunan masjid ini adalah menara berbentuk candi bercorak Hindu Majapahit, bukan pada ukurannya yang besar saja, tetapi juga keunikan bentuknya yang tak mudah terlupakan. Bentuk ini tidak akan kita temui kemiripannya dengan berbagai menara masjid di seluruh dunia. Keberadaannya yang tanpa-padanan karena bentuk arsitekturalnya yang sangat khas untuk sebuah menara masjid itulah yang menjadikannya begitu mempesona. Dengan demikian bisa disebut menara masjid ini mendekati kualitas genius locy. Bangunan menara berketinggian 18 meter dan berukuran sekitar 100 m persegi pada bagian dasar ini secara kuat memperlihatkan sistem, bentuk, dan elemen bangunan Jawa-Hindu. Hal ini bisa dilihat dari kaki dan badan menara yang dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen, namun konon dengan dengan digosok-gosok hingga lengket serta secara khusus adanya selasar yang biasa disebut pradaksinapatta pada kaki menara yang sering ditemukan pada bangunan candi. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat soko guru yang menopang dua tumpuk atap tajuk. Sedangkan di bagian puncak atap tajuk terdapat semacam mustoko (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjidmasjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu. GH Pijper dalam The Minaret in Java (India Antiqua, Leiden, 1947) mengaitkan struktur bangunan Hindu Jawa pada menara tersebut, sebagaimana pernah diungkap sarjana JFG Brumund pada tahun 1868. Dikemukakan pula bahwa menara itu mengingatkan pada menara kul-kul di Bali. Adanya kesamaan dengan menara kul-kul Bali ini kembali ditegaskan AJ Bernet Kempers dalam bukunya Ancient Indonesia Art (1953). Hampir semua pakar dan peneliti dari dalam negeri juga sepakat menara ini jelas bercorak bangunan candi atau menara kul-kul Bali. Ada yang menghubungkan bentuk menara itu dengan Candi Jago, terutama jika dilihat dari arsitektur dan kesamaan ragam hias tumpalnya seperti yang dilakukan Sutjipto Wijosuparto (1961). Ada pula yang menyamakannya dengan candi di Jawa Timur oleh Soekmono (1973), Candi Singosari oleh Syafwandi (1985), atau kul-kul Bali oleh Parmono Atmadi (1987). Namun, Pijper mengungkapkan menara Masjid Kudus awalnya bukanlah asli milik masjid, melainkan bentuk bangunan candi dari zaman Jawa-Hindu yang digunakan dan disesuaikan kegunaannya sebagai tempat azan. Lain halnya dengan ahli purbakala NJ Krom yang menyebutkan menara Masjid Kudus bukanlah bangunan Candi Jawa-Hindu. Menurut dia, bangunan itu memang memiliki 59 corak candi, tetapi ia dibangun pada masa Islam dan sengaja diperuntukkan sebagai menara azan. Mungkin saja menara dibangun para tukang dan ahli bangunan Hindu sehingga bentuk bangunannya dipengaruhi secara kuat corak arsitektur Hindu Pendapat Krom ini boleh jadi ada benarnya jika diamati detail ornamen bangunan menara yang hampir tidak ditemukan ragam hias berupa makhluk hidup. Artinya boleh jadi bangunan itu sudah disesuaikan dengan agama Islam yang cenderung menghindari adanya penggambaran makhluk hidup. Jika menara itu dibangun jauh sebelum masa Islam/sebelum masjid dibangun, tentu lebih logis jika ragam hias makhluk hidup bisa dengan mudah ditemukan seperti pada gapura Masjid Sendang Duwur di Jawa Timur. Usia menara juga merupakan keunikan tersendiri, seperti diungkapkan Pijper bahwa Menara Kudus merupakan menara masjid tertua di Jawa. Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada yang dapat memberi keterangan kapan waktu dibangunnya secara jelas. Jika didasarkan inskripsi berbentuk Candrasengkala dalam tulisan Jawa di sebuah balok bagian atap menara yang berbunyi "Gapura rusak ewahing jagad", arkeolog Soetjipto Wirjosuparto membacanya sebagai tahun Jawa 1 (jagad), 6 (ewah), 0 (rusak), 9 (gapura), maka berbunyi 1609 tahun Jawa atau 1685 Masehi. Wirjosuparto memperkirakan, menara masjid dibangun sebelum tahun 1685 karena keterangan ini menunjukkan rusaknya atap menara yang kemudian diperbaiki dan diperingati dengan inskripsi tersebut. Sementara AJ Bernet Kempers memperkirakan bangunan menara dibangun sekitar awal abad ke-16 tetapi diletakkan dalam tanda kurung yang dibubuhi tanda tanya. Karena tahun itu hanya merupakan perkiraan yang didasarkan atas petunjuk sejarah politik. SELAIN menara, masih banyak elemen unik lainnya yang bisa ditemukan pada kompleks masjid dan makam ini. Jika ditelusuri, terdapat banyak elemen bangunan yang berulang di berbagai tempat. Itulah gerbang yang bentuknya juga menunjukkan kaitan sangat kuat dengan seni bangunan zaman pra-Islam. Gerbang-gerbang itu menandai dan memberi batas makna ruang profan dan sakral. Komposisi tata letaknya sungguh memberikan urutan sangat menarik. Ada dua jenis gapura di kompleks ini, yakni Kori Agung dan Bentar yang keduanya mirip seperti gapura di Bali. Gapura jenis Kori Agung membentuk suatu gunungan pada bagian atasnya, sementara bentar membentuk laiknya gunungan terbelah. Kedua jenis seperti ini juga terdapat di kompleks Masjid Mantingan atau Masjid Ratu Kalinyamat di pesisir utara Jawa Tengah. Yang luar biasa dari gerbang ini adalah adanya sepasang gerbang purba berbentuk Kori Agung yang justru terdapat di dalam ruang shalat masjid. Konon, itulah sisa gerbang Masjid Kudus yang asli yang disebut "Lawang Kembar". Keunikan lain adalah beduk dan kentongan pada pendopo di bagian kepala menara. Peletakan benda-benda seperti itu merupakan tata letak yang tidak lazim di masjidmasjid Jawa tradisional. Karena alat-alat yang biasa ditabuh sebelum dikumandangkan azan itu hampir selalu diletakkan di pendopo masjid sebelah timur. Wajar jika hal ini memperkuat kaitan dengan menara kul-kul Bali karena pada menara kul-kul Bali biasanya tergantung kentongan di bagian kepala menara tepat di bawah atap. Satu lagi yang tak kalah menarik adalah tempat wudu kuno dari susunan bata merah, dengan lubang pancuran berbentuk kepala arca berjumlah delapan buah. Jumlah ini konon dikaitkan dengan falsafah Buddha, yaitu Asta Sanghika Marga (delapan jalan utama) yang terdiri dari pengetahuan, keputusan, perbuatan, cara hidup, daya, usaha, meditasi, dan komplementasi yang benar. Sedangkan bentuk arca seringkali dikaitkan dengan kepala sapi bernama Kerbau Gumarang karena binatang sapi dulunya diagungkan orang Hindu di Kudus. Bahkan hingga sekarang meski mereka telah menjadi Muslim, masih memiliki tradisi menolak penyembelihan sapi yang konon warisan dari sunan kharismatik pencipta gending Mijil dan Maskumambang itu. mjbookmaker by: http://jowo.jw.lt